Bacaan:
Bacaan I : Yesaya 1: 10-18
Bacaan Injil : Lukas 19: 1-10
Jika suatu hari Anda bertemu dengan seseorang yang seringkali kencing di depan halaman rumah Anda, bagaimana perasaan Anda dan apa yang akan Anda katakan kepada orang itu? Sedih dan menegur-nya...ya mungkin itu yang akan kita lakukan. Lalu, kalau di kemudian hari setelah teguran itu, Anda menjumpainya lagi dan ternyata masih saja dia melakukan kebiasaannya? Bagaimana perasaan Anda? Marah, kecewa, atau mungkin sebatas jengkel.
Nah, sekarang, jika Anda punya seorang anak yang Anda fasilitasi untuk menempuh pendidikan dengan baik. Namun, ternyata anak itu adalah anak yang tidak mau belajar dengan baik. Sehingga ketika Anda bertanya, “5 X 5 sama dengan berapa?” dan dia menjawab, “sepuluh”. Bagaimana perasaan Anda dan apa yang akan Anda lakukan terhadapnya? Sedih dan mungkin Anda akan memberitahu jawaban yang benar terhadapnya. Lalu, kalau di kemudian hari setelah Anda kasih tahu, dia masih saja menjawab “sepuluh”. Bagaimana perasaan Anda? Marah, kecewa, atau mungkin sebatas jengkel.
Pertanyaannya adalah kenapa Anda marah? Kenapa kecewa? Kenapa jadi jengkel? Ya, mungkin Anda akan mengatakan, “Bagaimana tidak marah? Sudah dikasih tahu, sudah ditegur, kok ya masih saja melakukan kesalahan yang sama. Itu kan menandakan bahwa dia tidak mau belajar dan berubah”. Di sinilah titik persoalannya. Ketika kita melihat ada orang yang tidak mau belajar dan tidak mau berubah sekalipun sudah ditegur dan dikasih tahu; kita menjadi marah, jengkel, dan kecewa.
Bagaimana kalau ternyata yang tidak mau belajar dan berubah itu adalah kita? Boleh tidak orang lain marah, jengkel, dan kecewa terhadap kita? Jika pertanyaan ini kemudian dikenakan dalam kehidupan rohani kita, maka pertanyaannya menjadi: Boleh tidak Allah marah terhadap kita ketika kita tidak mau berubah sekalipun sudah berulangkali kita ditegur dan diingatkan Allah?
Kitab Yesaya 1: 10-15 menggambarkan kepada kita bagaimana Allah marah, kecewa, dan jengkel terhadap umat-Nya yang tidak mau berubah. Bangsa Israel, pada saat itu memang tidak melupakan apa yang menjadi kewajiban agama. Mereka digambarkan sebagai generasi yang taat menjalankan kewajiban agama. Hal ini terlihat dari tindakan mereka yang rajin beribadah, rajin memberikan persembahan, selalu bersekutu, bahkan tidak pernah lupa berdoa.
Namun, semua tindakan keagamaan itu tidak membuat mereka belajar dan berubah menjadi lebih baik dalam hidup sehari-hari. Mereka tetap saja melakukan kejahatan, penindasan, dan keti-dakadilan. Hal inilah yang membuat Allah jemu, benci, dan memalingkan muka-Nya dari Israel. Allah marah, kecewa, dan jengkel terhadap Israel. Bahkan firman Allah menyamakan mereka dengan Sodom dan Gomora. Sebuah generasi manusia yang hidup dalam kejahatan dan kekejian, sehingga mendapatkan limpahan murka dari Allah.
Bagi Allah, perjumpaan umat dengan Allah seharusnya membuahkan perubahan dalam hidup umat sehari-hari. Oleh karena itu, arahan Allah kepada umat Israel dalam Yesaya 1: 16-17 mengatakan “basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatan yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” Ibadah yang merupakan sarana bagi umat untuk berjumpa dengan Allah memang merupakan sesuatu yang penting untuk dilakukan. Tetapi perubahan hidup sebagai dampak nyata dari peribadahan, juga merupakan hal yang tidak boleh dilupakan oleh umat Allah.
Allah tidak berkenan dan tidak menyukai orang yang rajin beribadah, rajin bersekutu dan rajin berdoa tetapi kelakuan sehari-harinya tidak berpadanan dengan kerajinannya tersebut. Bagi Allah berlaku rumus, siapa telah berjumpa dengan Allah, maka ada perubahan perilaku hidup yang nyata dalam diri orang tersebut. Orang yang dulu berbuat jahat setelah beribadah kepada Allah, mulai meninggalkan kejahatannya; orang yang tadinya melakukan ketidakadilan, berubah mengupayakan keadilan; orang yang tadinya melakukan kekejaman, berbalik mengendalikan orang kejam; orang yang terbiasa menindas orang miskin, berupaya untuk membela dan memperjuangkan hak orang miskin.
Hal inilah yang dilakukan oleh Zakheus dalam Lukas 19: 1-10. Perjumpaannya dengan Tuhan Yesus membawa perubahan nyata dalam hidup Zakheus. Dia yang adalah pemungut cukai, yang suka menarik pajak lebih besar sehingga membuat orang lain sengsara, mulai meninggalkan perilakunya itu dengan mengatakan “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seorang akan kukembalikan empat kali lipat.” (Luk 19: 8) Memang Zakheus tidak menyatakan berhenti dari pekerjaannya sebagai pemungut cukai; namun dia mengalami perubahan perilaku. Dia yang dalam pekerjaannya terbiasa memeras, sekarang ingin hidup benar dan melakukan pekerjaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perilakunya dalam bekerja diubah, bahkan dia siap untuk memberikan ganti rugi kepada setiap pihak yang telah diperasnya.
Bagaimana dengan kita selama ini? Perjumpaan kita dengan Allah dalam peribadahan, doa, dan persekutuan sudahkah mengubah perilaku kita dalam kehidupan ini? Apakah setelah mengalami perjumpaan dengan Allah, kia berubah menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik? Menjadi orang yang mengusahakan kebaikan, memperjuangkan keadilan, mengendalikan orang-orang kejam, dan membela hak-hak orang-orang miskin? Adakah perubahan perilaku sehari-hari kita? Perjumpaan dengan Allah pada hakekatnya adalah perjumpaan yang membawa perubahan hidup. Barangsiapa beribadah kepada Allah, ia dipanggil untuk hidup dalam perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Tuhan menyukai dan berkenan kepada umat-Nya yang menghasilkan perubahan perilaku seiring dengan ajaran yang dinyatakan dalam kebenaran firman-Nya. Selamat menjalani perubahan dan pembaharuan hidup. Tuhan memberkati kita semua. Amin.
Wisma Soekowati,
01 November 2013
Pdt. Yonatan Wijayanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar