“Berbahagialah orang
yang lapar dan haus akan kebenaran,
karena mereka akan
dipuaskan”
(Matius 5: 6)
Saat ini kita hidup di tengah-tengah lingkungan yang diwarnai
dengan praktik-praktik hidup yang tidak benar. Korupsi di negeri ini seakan-akan
telah menjadi “budaya” bangsa yang tidak bisa dihilangkan, karena praktek ini
sudah mendarah daging ke seluruh komponen masyarakat di berbagai level. Mulai
dari kalangan pejabat atau birokrat sampai rakyat, banyak yang terlibat dalam
tindakan yang tidak benar ini. Sehingga tak heran, ketika ada orang yang
mengatakan bahwa, “kalau pemimpin korupsi, maka bawahan dan masyarakat pun akan
turut korupsi, sehingga praktek ini menjadi semacam gurita yang melilit dan
mengakar di masyarakat”.
Begitu juga dengan potret penegakan hukum yang masih lemah.
Penegakan hukum yang ada di Indonesia masih terkesan tebang pilih. Akibatnya
banyak elemen masyarakat yang kecewa dengan lembaga peradilan negeri ini,
sehingga pertentangan terhadap lembaga peradilan semakin menguak ketika seorang
pejabat menjadi tersangka dalam penyalahgunaan wewenang dibebaskan tanpa diadili
sesuai dengan hukum yang berlaku. Banyaknya pejabat yang bebas dari tindakan
hukum, semakin memperlihatkan kepada kita bahwa penegakan hukum yang ada di
Indonesia perlu dipertanyakan.
Belum lagi persoalan intrik politik yang terjadi di kalangan
politisi kita yang jauh dari etika dan moral sebagai seorang pemimpin dan
penyampai aspirasi rakyat. Konflik yang pernah terjadi yang melibatkan anggota
Badan Kehormatan (BK) DPR, seolah menunjukkan bahwa wakil kita di parlemen sama
sekali tidak bisa memberikan teladan yang baik bagi masyarakat, bahkan
cenderung mengajarkan etika kurang pantas dan tidak layak disebut sebagai
penjaga moral DPR. Etika pejabat publik yang amoral tersebut, semakin
mencederai nilai-nilai kebangsaan kita yang memegang teguh akhlak dan moral.
Dalam suasana hidup yang kita alami sekarang ini, Firman
Tuhan bergema mengundang kita untuk mempraktikkan pola kehidupan yang benar. Praktik
hidup menunjukkan betapa banyak penderitaan yang ditimbulkan karena tidak adanya
keinginan yang sedemikian besar dan kuat dalam kehidupan manusia untuk hidup
dalam kebenaran. Sikap tidak peduli, acuh tak acuh, dan hati yang dingin telah
melahirkan jutaan penderitaan dan kematian dalam hidup manusia. Akan berbeda,
bila setiap manusia memiliki keinginan dan kerinduan untuk melakukan kebenaran
lebih dari keinginan-keinginan yang lainnya. Melihat hal ini, maka kebenaran
sesungguhnya menjadi kebutuhan utama dalam hidup manusia pada masa sekarang.
Pengalaman menunjukkan bahwa manusia seringkali tidak
menginginkan seluruh kebenaran, tetapi hanya sebagian saja. Misalnya: pada satu
sisi, ada orang yang dikenal baik, tiap hari minggu ke gereja, aktif dalam
pelayanan dan memberi banyak persembahan. Namun pada saat yang sama, orang itu
melakukan korupsi, memutarbalikkan hukum, merampas hak karyawannya, dan suka
memperdaya orang-orang yang lemah. Sementara pada sisi yang lain, ada orang
yang terkenal jahat dan ditakuti karena sikapnya yang kasar, tetapi ia memiliki
hati yang lembut, yang mudah tersentuh oleh penderitaan sesama. Kebenaran yang
ditampilkan oleh dua orang di atas adalah kebenaran yang hanya satu sisi, belum
merupakan kebenaran yang menyeluruh.
Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita bahwa tidak cukup bagi seseorang
hanya puas dengan kebenaran yang sebagian saja, tetapi haruslah menginginkan
seluruh kebenaran. Tuhan Yesus sendiri menempatkan kebenaran dalam seluruh
kehidupan-Nya. Ia memberlakukan kebenaran yang utuh dan menyeluruh dalam
hidup-Nya. Sebagai orang Yahudi, Ia mentaati aturan-aturan dalam agama
Yahudi. Misalnya: semenjak kecil Ia sudah aktif bersama orang tua-Nya mengikuti
berbagai ritual keagamaan di Bait Allah. Ia juga merayakan perayaan-perayaan
agama dan taat pada peraturan agama. Namun, Ia juga sering bersikap kritis
terhadap berbagai praktik kehidupan keagamaan yang dirasa menyimpang atau
dilandasi motivasi yang keliru. Secara moral, Ia memiliki watak dan
perilaku yang tidak tercela. Orang-orang tidak menemukan kesalahan yang dapat
dituntut dari sikap moral yang tidak benar dalam hidup-Nya. Secara
sosial, Tuhan Yesus berani memperjuangkan kebenaran untuk orang-orang
yang terpinggirkan dan seringkali terjerat dalam kesulitan karena lemah,
tertindas, dirampas haknya, dan sebagainya.
Ketika Tuhan Yesus mengatakan, “berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran…”, pada
hakekatnya, Ia juga menginginkan agar kita memiliki kerinduan yang mendalam
untuk mempraktikkan seluruh kebenaran dalam hidup kita. Sekarang marilah kita
bertanya pada diri kita, “Seberapa besar kita menginginkan kebenaran
dalam hidup kita? Apakah sebanyak makanan yang dibutuhkan oleh orang yang sedang
kelaparan, dan sebanyak air yang dibutuhkan oleh seseorang yang akan mati
karena kehausan?” Tuhan Yesus berkata, hanyalah orang yang menginginkan
seluruh kebenaran dalam hidupnya yang akan dipuaskan.
Ada seorang pemuda yang mendatangi seorang pertapa dengan sebuah permintaan, “Tunjukkanlah kepadaku bagaimana saya harus melakukan kebenaran dalam hidup saya?” Pertapa itu bertanya, “Seberapa besar kerinduanmu?” Orang muda itu menjawab, “Lebih dari apapun di dunia ini.” Sang pertapa kemudian membawa orang muda itu ke tepi danau dan mereka masuk ke dalam danau sampai air danau mencapai leher. Kemudian sang pertapa menekan kepala orang muda itu ke dalam air.Pemuda itu berjuang dengan susah payah dan sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari tangan sang pertapa. Tapi sang pertapa itu tidak melepaskannya sampai si pemuda itu hampir tenggelam. Ketika mereka sudah sampai di tepi danau, pertapa itu bertanya kepada si pemuda, “Anakku, ketika engkau berada di dalam air, apa yang engkau inginkan lebih dari segala yang lain?” Tanpa ragu, pemuda itu menjawab, “udara”. Baik, ketika engkau menginginkan kebenaran seperti engkau menginginkan udara tadi, maka matamu akan terbuka terhadap keajaiban Allah. (disadur dari buku 111 Cerita & Perumpamaan bagi Para Pengkotbah Dan Guru, Kanisius, Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar