SUDAHKAH ANDA BERDOA DAN MENYAPA TUHAN HARI INI?

Jumat, 17 Februari 2012

SAKSI KEMULIAAN KRISTUS



SAKSI KEMULIAAN KRISTUS
Minggu, 19 Februari 2012
Minggu Transfigurasi
Warna Liturgis: Putih


Bacaan I         : 2 Raja-raja 2 : 1-15
Antar Bacaan: Mazmur 50: 1-6
Bacaan II       : 2 Korintus 4: 3-6
Bacaan III      : Markus 9: 2-9

Bersaksi adalah warisan tugas yang harus diteruskan 
oleh orang beriman

Minggu ini, sebagai gereja kita memperingati peristiwa Transfigurasi Yesus. Sebuah perayaan atas kemuliaan Tuhan yang dinyatakan kepada manusia. Perayaan Transfigurasi berasal dari tradisi Gereja Timur (Ortodoks). Perayaan ini didasarkan dari kesaksian Injil-injil Sinoptik mengenai peristiwa perubahan rupa Yesus.

Peristiwa Transfigurasi Yesus yang dilukiskan dalam injil sinoptik memiliki kemiripan dengan peristiwa terangkatnya Elia ke sorga. Dalam dua peristiwa itu, sama-sama dihadiri oleh orang lain. Dalam peristiwa Transfigurasi Yesus, ada Petrus, Yohanes, dan Yakobus yang hadir di sana. Sedangkan dalam peristiwa kenaikan Elia ke sorga, ada Elisa yang dapat menyaksikan peristiwa itu secara langsung. Kehadiran murid-murid Yesus dan murid Elia itu tentu membawa maksud tersendiri. Maksud itu tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka pendelegasian atau pengambilalihan tugas sang guru. Transfigurasi sang guru yang mereka saksikan merupakan konfirmasi agar mereka tetap meneruskan karya sang guru dalam memberitakan kemuliaan Allah kepada dunia.

Apa yang kita lihat dalam dua bacaan kita hari ini mengingatkan kepada kita bahwa tugas pemberitaan karya Allah tidak boleh berhenti hanya pada satu generasi manusia. Tugas pemberitaan kemuliaan Allah itu harus terus diwariskan dari generasi ke generasi. Bahkan kepada generasi kita di masa kini, sebenarnya tugas itu telah diwariskan. Kenaikan Kristus ke sorga, meneguhkan pewarisan tugas itu. Ketika Ia berkata, “Kepadaku telah diberikan kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu.” (Matius 28: 18b-20a).

Dari pemahaman yang seperti inilah, maka gereja kemudian menghayati bahwa salah satu tugas perutusannya di dunia adalah untuk memberi kesaksian kepada dunia tentang kemuliaan Allah kepada dunia. Gereja yang tidak melakukan karya kesaksian, bukanlah gereja. Karena kesaksian merupakan salah satu tugas yang didelegasikan oleh Tuhan Yesus Kristus sendiri kepada setiap orang yang beriman kepada-Nya.

Lalu, bagaimana supaya kita dapat menjadi seorang Saksi yang mampu memberikan kesaksian yang baik kepada dunia tentang kemuliaan Allah? Melalui bacaan kita hari ini, sedikitnya ada tiga hal yang dapat kita perhatikan dan lakukan dalam hidup supaya kita menjadi Saksi yang mampu bersaksi dengan baik. Adapun ketiga hal itu adalah:

1. Seorang saksi adalah orang yang mengalami langsung 
apa yang ia ungkapkan
Anda suka nonton televisi atau membaca surat kabar atau mendengarkan radio? Pernakah Anda mengamati setiap iklan yang ditayangkan?  Menurut Anda, apakah orang yang menjadi bintang iklan itu juga memakai produk yang dia tawarkan? Mungkin kita akan menjawab, belum tentu! Bergantung pada produk yang sedang dia iklankan. Kalau memang produk itu baik dan bermanfaat bagi sang bintang, mungkin dia juga akan memakai produk itu. Tetapi, kalau ternyata produk yang dia tawarkan itu adalah produk yang sebenarnya tidak dia butuhkan dan tidak bermanfaat bagi dirinya, tentu ia tidak akan memakainya. Kalaupun ia tetap membintangi iklan produk itu, semata-mata karena bayaran atau uang yang akan ia peroleh melalui peran yang ia mainkan. Apakah ada yang demikian ini? Pastinya ada. Ambil contoh, para aktris yang membintagi sebuah iklan rokok. Apakah ia juga akan memakai rokok yang ia iklankan itu untuk dirinya sendiri? Belum tentu kan?

Jika seorang bintang iklan belum tentu memakai produk yang dia iklankan, tidak demikian dengan seorang saksi. Salah satu syarat untuk menjadi seorang saksi adalah merasakan, mengetahui, melihat, bahkan terlibat secara langsung dengan apa yang dia ungkapkan sebagai kesaksiannya. Dalam bahasa periklanan, seorang saksi adalah orang yang secara langsung memakai produk yang akan ia beritahukan kepada orang lain. Dia harus merasakan dan mengalami sendiri apa yang akan dia ungkapkan. Jika seorang saksi hanya mengandalkan apa kata orang dan tidak pernah merasakan sendiri apa yang dia ungkapkan, maka kesaksiannya itu bisa dikatakan sebagai sebuah kesaksian yang tidak cukup kuat. 

Dalam maksud itulah, Petrus, Yohanes, dan Yakobus diperkenan Allah untuk melihat, merasakan, mengamati, dan terlibat secara lanngsung peristiwa Transfigurasi Yesus. Mereka mendapatkan kesempatan itu, agar kelak mereka menjadi orang-orang yang mampu memberi kesaksian kepada dunia tentang kemuliaan Yesus yang telah mereka lihat dan alami. Persitiwa itu sebenarnya merupakan satu pengalaman yang semakin mengukuhkan identitas mereka sebagai saksi Kristus. Dengan peristiwa Transfigurasi itu, sebenarnya juga ingin ditegaskan bahwa apa yang murid-murid Yesus sampaikan kepada dunia tentang kemuliaan Yesus adalah hal yang sesungguhnya benar adanya. Ada orang-orang yang pada waktu itu menyaksikan secara langsung peristiwa itu dalam kehidupan mereka, yaitu Petrus, Yohanes dan Yakobus.

Dari kisah transfigurasi ini, kita dapat mengambil satu pelajaran yang berharga bagi kehidupan kita selaku saksi Kristus. Pengalaman hidup bersama Yesus menjadi salah satu hal yang harus kita rasakan agar kita dapat memberi kesaksian kepada dunia tentang kemuliaan Yesus. Tanpa hidup bersama dengan Yesus, kesaksian kita tidak akan pernah dapat dianggap sebagai kesaksian yang benar. Apa gunanya kita bersaksi bahwa Tuhan itu penuh kasih, jika ternyata dalam hidup ini kita tidak pernah mencoba untuk menyelami kasih Tuhan? Apa gunanya kita berkata, rancangan Tuhan itu baik, jika kita sendiri dalam hidup ini tidak pernah mau tunduk pada rancangan-Nya? Sebab itu, marilah kita belajar untuk mengalami hidup bersama dengan Tuhan terlebih dahulu supaya kita dimampukan untuk memberi kesaksian kepada dunia tentang kemuliaan Yesus.

2. Seorang saksi harus berani untuk direpotkan dan menanggung risiko
Kisah berikut ini mungkin adalah sebuah kisah yang dekat dengan kehidupan sehar-hari kita: Suatu hari, Andi sedang menempuh perjalanan dengan menggunakan sepeda motornya menuju ke sebuah kota. Di tengah perjalanannya, ia melihat ada sebuah peristiwa kecelakaan yang terjadi. Dia tahu persis terjadinya peristiwa itu. Sebuah mini bus menabrak seorang pengendara sepeda motor, hingga sang pengedara itu terjatuh dan mengalami luka yang sangat berat. Andi yang berada tidak jauh dari tempat kejadian mencoba untuk mendekat, berusaha untuk menolong si pengendara sepeda motor. Ada beberapa orang tukang becak di situ yang mengingatkannya, “Mas, lebih baik mas langsung telepon polisi saja.” Andi pun cepat-cepat mengambil telepon genggamnya dan menelepon kantor kepolisian untuk melaporkan peristiwa yang terjadi. Singkat cerita, beberapa orang polisi datang dan menangani peristiwa kecelakaan tersebut. Lalu salah satu di antara polisi itu bertanya, “siapa di antara saudara yang tahu persis kejadian ini tadi?” Seketika itu, semua orang yang ada di situ, termasuk Andi, terdiam dan tidak mau untuk menyatakan dirinya bahwa dia tahu persitiwanya.

Bukankah hal seperti itu sering terjadi dalam kehidupan kita? Orang tahu sebuah peristiwa, tetapi tidak mau untuk mengakui bahwa dirinya tahu. Mengapa hal ini terjadi? Karena kalau kita mengaku, maka kita pasti akan dijadikan saksi atas peristiwa itu. Ketika orang menjadi saksi, maka dirinya akan menjadi repot. Apalagi kalau kemudian peristiwa itu sampai di pengadilan. Sebab itu, terkadang kita memilih berdiam diri dan tidak mau mengakui bahwa kita tahu persis kejadiannya. Pada prinsipnya karena kita tidak mau direpotkan dan menanggung risiko, maka kita memilih berdiam dan tidak mau mengakui bahwa kita tahu kejadiannya.

Berbeda dengan kita yang terkadang enggan menjadi seorang saksi karena tidak mau untuk direpotkan dan menanggung risiko. Figur Elia muncul dalam bacaan pertama maupun ketiga (Injil) justru untuk mengingatkan kita tentang keteladanannya dalam memberi kesaksian kepada dunia terkait ke-Mahakuasa-an Allah. Elia dikenal sebagai nabi yang berani dalam memberi kesaksian tentang Allah yang Mahakuasa. Kesaksiannya yang dilontarkan lewat kritik kepada para penguasa pada jamannya sangat menohok. Karena kesaksiannya yang begitu berani itu, Elia terkadang harus menghadapi risiko yang besar. Tapi ia tidak pernah memedulikannya. Suatu kali nyawa Elia pernah terancam karena kritiknya kepada penguasa ketika ia memberi kesaksian tentang ke-Mahakuasa-an Allah yang mampu mengalahkan kekuasaan dan kekuatan dewa Baal. Bahkan karena hal itu, ia harus melarikan diri dan dikejar-kejar oleh penguasa untuk diambil nyawanya. Namun, sekalipun ia pernah menghadapi situasi yang demikian, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk terus memberi kesaksian kepada orang-orang Israel dan bangsa-bangsa lain tentang kekuatan dan ke-Mahakuasa-an Allah Israel.

Dari keteladan yang telah diberikan Elia, kita diingatkan bahwa keberaniaan untuk menjadi repot dan menanggung risiko merupakan satu hal yang harus kita miliki dalam hidup kita selaku saksi-saksi Kristus. Dengan keberanian itulah, kita akan dimampukan untuk terus menjadi saksi kemuliaan Tuhan, sekalipun oleh karena kesaksian kita, mungkin ada banyak hal yang harus kita hadapi. Terlebih jika kita mengamati trend dunia pada masa sekarang ini. Agaknya keberanian menjadi satu kunci yang perlu untuk terus kita pupuk dalam diri kita agar kita mampu menjalankan tugas kesaksian kita.

3. Seorang saksi harus bonafide (dapat dipercaya)
Menjadi saksi Kristus bukanlah hal yang mudah, penuh dengan tantangan dan membutuhkan perjuangan. Rasul Paulus, selaku saksi Kristus juga pernah mengalami dan merasakan betapa sulitnya menjalankan tugas kesaksiannya. Pada waktu memberitakan Injil sebagai wujud usahanya untuk bersaksi, ia pernah digugat dan menjadi sasaran tuduhan macam-macam, di antaranya, ia pernah dituduh mengambil keuntungan pribadi dalam pelayanannya. Terhadap semua tuduhan itu, Paulus telah memberikan sanggahannya. Bahkan jika kita membaca 2 Korintus 4: 2 (satu ayat sebelum bacaan kita minggu ini), di sana ia memberikan tantangan agar dirinya diperiksa, supaya menjadi jelas apakah ia benar-benar telah melakukan tindakan seperti yang dituduhkan kepadanya. Ayat 2 ini mengungkapkan sikap etis Paulus, yaitu berani buka-bukaan sekalipun tentang hal-hal yang memalukan, tidak memakai ayat-ayat Alkitab untuk menutupi keburukan atau mendapatkan keuntungan, dan berani diperiksa oleh dan secara publik. Konsekuensi dari sikap tersebut membuat Paulus menjadi orang yang bonafide (dapat dipercaya).

Dengan menjadi orang yang bonafide, Paulus yakin bahwa pekerjaan yang dilakukannya, yaitu mengabarkan Injil, akan dapat diterima oleh semua orang. Jika orang yang menyampaikannya dapat dipercaya, orang akan bisa menerima apa yang disampaikannya. Jadi, Paulus hendak memberi tekanan pada pentingnya karakter seseorang sebelum ia memberitakan  Injil (baca: memberi kesaksian). Meskipun tidak dikatakannya, argumentasinya itu ingin mengatakan bahwa sebaik-baiknya Injil (baca: berita kesaksian), ia tetap memerlukan orang yang baik untuk memberitakannya. Apabila karakter orang yang menyampaikannya bonafide (dapat dipercaya) niscaya orang mau mendengarnya, dan bahkan menerima berita yang disampaikannya. Kalau masih ada orang-orang yang tidak mengerti juga berita yang disampaikan oleh orang yang dapat dipercaya, itu namanya keterlaluan sekali.

Jadi, satu hal yang dapat kita pelajari dari Rasul Paulus yaitu: ketika kita ingin menjadi seorang saksi Kristus yang baik dan berhasil, kita harus memeriksa diri kita terlebih dahulu, apakah diri kita merupakan pribadi yang bonafide (dapat dipercaya) atau tidak. Pribadi yang bonafide (dapat dipercaya), salah satunya dicirikan dengan adanya kesamaan antara perkataan dan perbuatannya. Apa yang dikatakannya, itulah yang dia lakukan dan apa yang dia lakukan atau alami, itulah yang dikatakannya. Keberhasilan sebuah kesaksian juga ditentukan oleh orang yang menyampaikannya. Jika orang yang menyampaikannya saja ternyata adalah orang yang hanya bisa bicara tapi tidak bisa melakukan, bagaimana berita kesaksian kita dapat didengar atau bahkan diterima orang lain? Sebab itu, marilah kita miliki sikap hidup yang bonafide (dapat dipercaya), sehingga ketika kita bersaksi tentang kemuliaan Tuhan, orang lain bersedia untuk mendengar dan menerimanya.

Itulah tiga hal yang seharusnya ada dalam hidup kita selaku saksi-saksi Kristus di dunia ini. Kesaksian kita kepada dunia tentang kemulian Tuhan akan menjadi lebih baik, jika kita bersedia untuk mengalami secara langsung apa yang akan kita ungkap-kan; berani untuk menanggung segala risiko yang ditimbulkan atas kesaksian kita; dan memiliki kehidupan yang bonafide atau dapat dipercaya. Selamat bersaksi di dunia. Kiranya melalui hidup kita, kemuliaan Tuhan boleh diberitakan dan makin banyak orang percaya dan menyerahkan hidup kepada-Nya. Tuhan memberkati. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar