PERJALANAN PENDERITAAN
Minggu,
04 Maret 2012
Minggu Pra Paskah II
Warna Liturgis: Ungu
Bacaan
I : Kejadian 17: 1-7; 15-16
Antar Bacaan : Mazmur 22: 23-31
Antar Bacaan : Mazmur 22: 23-31
Bacaan
II : Roma 4: 13-25
Bacaan
III : Markus 8: 31-38
(karena tema yang
diangkat adalah Perjalanan Penderitaan, maka teks yang dijadikan dasar
penyusunan renungan ini difokuskan pada Bacaan III: Markus 8: 31-38)
SETIAP
MANUSIA MEMILIKI KECENDERUNGAN
UNTUK MEMILIH JALAN HIDUP
YANG NYAMAN, TANPA
RESIKO
Andaikata, suatu hari,
dalam rangka liburan, Anda akan melakukan perjalanan ke sebuah kota tertentu.
Ada dua jalur yang dapat Anda tempuh untuk mencapai kota tujuan Anda tersebut.
Jalur yang pertama adalah jalur utama yang jalannya beraspal bagus, tidak ada
gelombang dan lobang di jalan, jalurnya melewati kota-kota lain yang ramai, dan
jalannya cukup lebar. Sementara, jalur yang kedua yang juga bisa Anda lalui
adalah jalur yang jalannya penuh dengan lobang, berkelok-kelok karena harus
melewati daerah persawahan dan hutan, di jalur itu jarang ditemui rumah-rumah
penduduk, tapi jaraknya lebih pendek 5 KM dari jalur yang pertama. Kira-kira
mana yang akan Anda pilih untuk Anda lalui dalam rangka liburan Anda tersebut?
Tentu, kemungkinan
besar jawaban kita adalah memilih jalur yang pertama. Karena jalur yang pertama
sekalipun lebih jauh sedikit, tetapi lebih memberikan jaminan rasa aman dan
tidak terlalu mengandung banyak resiko, jika dibandingkan jalur kedua. Jalur
kedua jauh lebih banyak tantangannya dan membutuhkan tingkat kehati-hatian yang
lebih tinggi. Kalaupun orang mau menempuh jalur itu, kemungkinan besarnya
karena terpaksa. Entah karena dikejar waktu, adanya kemacetan yang terjadi di
jalur utama, atau mungkin juga karena punya tujuan untuk singgah di salah satu
tempat yang ada di sepanjang jalur kedua. Biasanya, ketika orang melalui jalur
yang kedua itu, dalam sepanjang perjalanan muncul keluhan-keluhan tertentu yang
diungkapkan. Prinsipnya, selagi masih ada pilihan lain, mungkin jalur itu tidak
akan pernah menjadi jalur yang dipilih untuk dilalui. Begitulah sikap manusia.
Lebih suka untuk memilih hal yang membawa kenyamanan dibandingkan dengan hal
yang membawa ketidak nyamanan. Lebih suka menghindari resiko daripada
menghadapi resiko. Hal semacam ini juga nampak dalam kehidupan sehari-hari umat
manusia.
Sebagai contoh, soal
penderitaan. Bagi manusia, penderitaan dipandang sebagai suatu keadaan yang
sarat dengan ketidak nyamanan dan resiko. Sebab itu setiap orang berusaha untuk
menghindar dari yang namanya penderitaan. Kalau ada yang lebih menyenangkan
kenapa harus memilih yang membawa derita? Selagi sebuah penderitaan dapat
dihindari kenapa kita harus menghadapinya? Itulah ungkapan-ungkapan yang sering
kita dengar keluar dari mulut seseorang ketika berbicara tentang penderitaan. Di
dunia ini tidak ada manusia yang dengan sengaja memilih jalan penderitaan dalam
hidupnya. Selagi mereka masih mampu untuk menghindar, mereka akan terus
berusaha untuk menghindari penderitaan. Itulah kecenderungan setiap manusia.
Demikian pula dengan
Petrus yang adalah manusia biasa. Dia pun memiliki kecenderungan yang sama
dengan manusia yang lain. Ketika Tuhan Yesus menyampaikan bahwa “Anak Manusia harus menanggung banyak
penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat,
lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari (Mark
8:31)”. Seketika itu juga Petrus menarik Yesus dan menegurNya (Mark
8:32). Apa yang dilakukan Petrus ini menandakan bahwa dia, sebagai
manusia biasa tidak ingin Orang yang dianggapnya penting, mulia dan berkuasa
itu mengalami penderitaan. Ia ingin agar Yesus yang diakuinya sebagai Sang
Mesias itu mengalami kehidupan yang selanyaknya seperti orang-orang yang
memerintah Israel. Petrus tidak ingin Yesus memilih jalan penderitaan di dalam
hidup-Nya. Sebab itu, ia menegur Yesus, ia pikir Yesus keliru dalam
berkata-kata dan perlu untuk diluruskan.
YESUS
MENAWARKAN JALAN YANG BERBEDA
Petrus yang bersikap
seperti itu, pada gilirannya justru ditegur Yesus dengan keras. Bahkan Petrus dimarahi
dan dikatakan sebagai Iblis. Sebagaimana yang tertulis dalam Mark 8:33, Maka berpalinglah Yesus dan sambil memandang
murid-murid-Nya Ia memarahi Petrus, kata-Nya: "Enyahlah Iblis, sebab
engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan
manusia." Ungkapan Yesus ini
sangat tajam, keras, dan sangat tepat. Petrus pada waktu itu memang tidak
memikirkan apa yang dipikirkan Allah. Petrus hanya memikirkan apa yang
dipikirkan manusia pada umumnya, bahwa tidak mungkin seorang manusia menjadikan
jalan penderitaan sebagai bagian yang sengaja dipilih dalam hidup.
Melalui
teguran itu, Yesus ingin menyadarkan kepada Petrus bahwa pikiran Allah tidak
selamanya sama dengan pikiran manusia. Kalau manusia cenderung menghindar dari
penderitaan dan segala resikonya, tidak demikian dengan Allah. Allah justru
dengan sadar memilih untuk menghadapi jalan penderitaan dan segala resikonya
itu demi terwujudnya tujuan yang ingin Ia capai, yaitu mendamaikan manusia
dengan diri-Nya.
Jürgen Moltmann dalam The Crucified God (1987) mengatakan
bahwa “The cross is not and cannot be
loved. Yet only the crucified Christ can bring the freedom which changes the
world because it is no longer afraid of death.” Dalam bukunya itu, Motlmann menegaskan bahwa
kebebasan dari dosa yang manusia rasakan, itu harus didahului oleh salib. Allah
menahan rasa nyeri, menderita, dan tetap bertahan dalam keadaan yang demikian
itu dengan satu tujuan, yaitu untuk membawa manusia ke dalam kehidupan yang
benar.
Pola pikir Allah yang
semacam itulah yang sebenarnya ingin Yesus sosialisasikan kepada setiap orang
yang mengikut-Nya. Dengan memilih taat pada jalan yang Allah sediakan sekalipun
sarat dengan penderitaan, Yesus ingin mengajak kepada murid-murid-Nya untuk
melihat penderitaan dengan cara pandang Allah. Bukan dengan cara pandang dunia
yang cenderung anti-penderitaan. Dengan berkata “barangsiapa ingin mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul
salibnya dan mengikut Aku”, Tuhan Yesus mau menengaskan bahwa setiap orang
yang menjadi murid-Nya harus memiliki kesediaan untuk hidup dalam penderitaan,
berani untuk menghadapi penderitaan yang terjadi dalam hidupnya, dan tetap
menempuh jalan yang Allah tunjukkan sekalipun sarat dengan penderitaan. Itulah
jalan hidup yang Kristus tawarkan kepada kita. Spiritualitas Kristen minus
penderitaan adalah spiritualitas yang anti “Jalan Kristus”.
SEBUAH
TAWARAN YANG PENUH DENGAN TANTANGAN
Tawaran Kristus untuk
menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Dia tentu bukanlah merupakan
tawaran yang mudah untuk kita ambil. Budaya kehidupan yang kita hadapi sekarang
ini cenderung menampilkan wajah yang sangat berlawanan dengan tawaran Kristus
tersebut. Sering kita jumpai dalam kehidupan ini, sekalipun orang telah mengaku
percaya dan memproklamirkan diri sebagai pengikut Kristus, ternyata masih
banyak juga yang tetap bersikap anti-penderitaan. Mereka mau anugerah dan
berkat-Nya, tetapi menolak jalan penderitaan-Nya. Masih banyak yang secara
sadar atau tidak, menolak ajaran Yesus tentang penderitaan, apalagi jika harus
hidup memikul salib.
Budaya
Eksis vs Penyangkalan Diri
Dewasa ini, sebagai
manusia kita diperhadapkan pada situasi kehidupan yang menuntut keeksisan
seseorang. Jejaring sosial seperti facebook
dan twitter menjadi sesuatu yang
digemari oleh banyak orang dalam waktu yang relatif singkat, lebih dari ratusan
ribu orang menjadi anggota di kedua jejaring tersebut. Orang merasa bahwa
dengan menjadi anggota di kedua jejaring sosial tersebut, dirinya akan tetap bisa
eksis dalam kehidupan sosial mereka. Karena itu, baik yang tua, yang muda,
bahkan anak-anak pun berlomba untuk meng-update
status setiap hari bahkan tiap dua atau tiga jam sekali untuk memberi informasi
kepada teman-temannya bahwa saya masih ada dan bukan tipe orang yang
ketinggalan jaman.
Di tengah budaya eksis
yang semacam itu, Yesus menawarkan kepada kita untuk melakukan penyangkalan
diri. Orang yang menyangkal diri adalah orang yang berani mematikan dirinya
demi kepentingan orang lain. Orang yang menyangkal diri adalah orang yang rela
dianggap tidak eksis demi memberi ruang bagi pihak lain agar lebih menonjol.
Beranikah kita mengambil sikap yang seperti itu? Saat orang lain berlomba untuk
menjadi pusat perhatian, relakah kita menjadi orang yang mungkin tidak diperhatikan?
Saat orang lain berusaha untuk menunjukkan keakuannya, beranikah kita mematikan
keakuan kita?
Budaya
Cuci Tangan vs Kesediaan Memikul
Salib
Selain budaya eksis,
dewasa ini kita juga menghadapi budaya cuci tangan. Kalau kita rajin mencermati
berita di media elektronik dan membaca informasi di beberapa media cetak, kita
akan menjumpai banyaknya orang yang sedang mengalami kasus-kasus kehidupan, dan
mencoba untuk lari dari permasalahan mereka, dengan melemparkan tanggung jawab
pada orang lain. Mereka yang telah melakukan kesalahan berusaha untuk mencari
kambing hitam, supaya mereka tidak dipersalahkan dan tidak hidup menderita di
balik jeruji besi. Bahkan tidak sedikit orang lari dari permasalahan hidup
mereka dengan melakukan tindakan-tindakan yang tidak seharusnya, misalnya:
memilih bunuh diri daripada hidup dalam penderitaan, memilih untuk mengkonsumsi
narkoba daripada dipusingkan dengan persoalan yang tidak kunjung usai, memilih
untuk membunuh orang lain daripada masalahnya terbongkar, dsb.
Di tengah orang
berusaha untuk cuci tangan dari setiap masalah yang mereka hadapi, beranikah
kita menjadi pribadi yang selalu menghadapi masalah kita, sekalipun karenanya
kita harus menanggung penderitaan? Kristus menawarkan jalan kepada kita agar
kita menjadi pribadi yang selalu bersedia untuk memikul salib kita dan mengikut
Dia. Memikul salib memang tidaklah mudah. Salib adalah lambang beban kehidupan,
salib juga menjadi simbol penderitaan, rasa sakit, dan nyeri. Siapapun yang
memikul salib pasti akan terkuras tenaganya dan menjadi lelah. Apalagi kalau
adanya salib itu karena perbuatan orang lain. Tetapi beranikah kita tetap
memikulnya? Kristus pernah melakukannya,
sekalipun Ia tidak pernah membuat sebuah kesalahan di dalam kehidupan-Nya, Ia
harus mengalami penderitaan dengan memikul beban berat itu di atas pundak-Nya.
Tidakkah kita juga rindu untuk mengikuti jalan-Nya?
Selamat merenungkan
dan menghayati perjalanan penderitaan Kristus, kiranya kita dimampukan untuk dapat menapaki
jalan yang sama dengan jalan yang telah ditempuh Kristus. Tuhan memberkati.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar