SUDAHKAH ANDA BERDOA DAN MENYAPA TUHAN HARI INI?

Rabu, 20 November 2013

KIAMAT (HARI TUHAN), BERKAH ATAU CELAKA?


Bacaan I: Maleakhi 4: 1-2
Bacaan II: Lukas 21: 5-19
 

Kedatangan atasan bisa jadi merupakan saat yang menyenangkan bagi sebagain orang yang bekerja, namun juga bisa dipandang sebagai saat yang tidak menyenangkan bagi yang lain. Hal ini bergantung dari bagaimana para pekerja tersebut menjalankan tugasnya sehari-hari. Jika seorang pekerja, melakukan pekerjaannya dengan baik dan setiap tugasnya diselesaikan, maka kedatangan atasan merupakan saat yang dinantikan, sebab jika atasannya datang, atasan tersebut akan melihat kinerja yang telah dilakukan oleh sang pekerja. Hal itu berarti akan ada nilai tambah untuk diri sang pekerja itu.

Namun sebaliknya, jika pekerja itu adalah seorang yang senang menunda-nunda pekerjaan, tidak pernah menjalankan tugas dengan baik dan lebih banyak menghabiskan waktu kerjanya untuk ngobrol dengan teman kerja; maka saat kedatangan atasan seringkali dipandang sebagai saat yang mencelakakan. Sebab saat itu bisa saja dia kena marah, teguran, atau bahkan kena saksi atas tindakannya selama ini.

Demikian pula dengan hari Tuhan. Bagi sebagian orang, kedatangan hari Tuhan dipandang sebagai hal yang penuh berkah, namun bagi sebagian lagi dipandang sebagai hari yang penuh celaka. Hal itu bergantung pada bagaimana cara orang itu hidup dalam kesehariannya. Kitab Maleakhi 4: 1 mengatakan "Bahwa sesungguhnya hari itu datang, menyala seperti perapian, maka semua orang gegabah dan setiap orang yang berbuat fasik menjadi seperti jerami dan akan terbakar oleh hari yang datang itu, firman TUHAN semesta alam, sampai tidak ditinggalkannya akar dan cabang mereka." Bagi orang yang menjalani hidup dengan gegabah dan berbuat fasik, maka kedatangan hari Tuhan digambarkan bagaikan perapian yang menyala yang siap membakar apa pun yang ada di depannya.

ORANG YANG GEGABAH adalah orang yang dalam kehidupan ini menjalani hidup dengan sembrono atau tidak berhati-hati. Dalam bahasa Rasul Paulus kepada Jemaat di Tesalonika, orang yang gegabah disebut dengan orang yang tidak tertib hidupnya. Orang yang menghabiskan waktu hidupnya untuk hal-hal yang tidak berguna. Segala tindakan dan tingkah lakunya tidak dipikir dan dipertimbangkan terlebih dahulu. Dia cenderung asal bertindak dan asal berlaku menurut kehendak hatinya sendiri, tidak memperhatikan dan mempertimbangkan keberadaan Tuhan dan orang lain yang ada di sekitarnya. Kalau lagi marah, ya suka mengumbar kemarahan, bukan berusaha menahan dan meredakannya. Kalau lagi benci ya mengobarkan kebencian dan membiarkannya makin dalam, bukannya mencoba untuk mengatasi kebencian yang tumbuh dalam hidupnya. Kalau lagi sakit hati ya membiarkan sakit hati itu berlarut-larut, tanpa bersedia untuk mengatasi dengan mengampuni. Apa yang ada dalam kehendak hatinya, itulah yang dilakukannya. Sehingga dampak tindakan dan kelakuannya adalah cenderung melukai hati, merusak relasi, dan menghancurkan kehidupan.

ORANG YANG BERBUAT FASIK adalah orang yang dalam kehidupan ini mengetahui kebenaran, tetapi dia tidak mau melakukan kebenaran itu dalam hidupnya. Dia tahu bahwa firman Tuhan itu baik dan benar, namun dia tidak pernah mau melakukan firman itu dalam kehidupannya. Dia mengerti bahwa beribadah kepada Tuhan itu adalah benar, namun dia lebih memilih mengikuti rasa malasnya daripada datang beribadah kepada Tuhan. Dia tahu bahwa sesuatu itu adalah hal yang berdosa, namun dia memilih untuk tetap melakukannya karena memberi keuntungan dan kenikmatan diri. Orang fasik adalah orang yang secara pengetahuan menguasai dan mengerti tentang berbagai macam kebenaran, namun dalam dirinya tidak ada kesediaan untuk melakukan kebenaran itu dalam hidup.

Bagi orang yang gegabah dan berbuat fasik seperti ini, hari kedatangan Tuhan adalah hari yang celaka. Sebab, ibarat seorang pekerja, mereka tergolong sebagai para pekerja yang tidak mau bekerja dengan baik dan bertanggung jawab. Sehingga ketika atasan datang, maka saat itu akan menjadi saat yang menakutkan bagi mereka. Namun tidak demikian, bagi orang yang takut akan Tuhan. Hari Tuhan di mata orang yang takut akan Tuhan bukanlah hari yang menakutkan. Melainkan merupakan hari yang sungguh dinantikan kedatangannya. Sebab pada hari kedatangan itu, berkah Tuhan yang berupa kebenaran dan kesembuhan akan diwujudkan secara sempurna. Kebahagiaan dan sukacita akan dirasakan. Sebagaimana yang tertuang dalam Kitab Malekahi 4: 2 yang mengatakan: "Tetapi kamu yang takut akan nama-Ku, bagimu akan terbit surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya. Kamu akan keluar dan berjingkrak-jingkrak seperti anak lembu lepas kandang."

Nah persoalannya, orang yang takut akan nama Tuhan itu yang seperti apa? Menurut Tuhan Yesus, ORANG YANG TAKUT AKAN NAMA TUHAN adalah:


  1. Orang yang senantiasa menjadikan hidupnya sebagai kesempatan untuk bersaksi tentang nama Tuhan. Bahkan di kala hidupnya penuh dengan penderitaan dan kesukaran (Luk 21: 13).
  2. Orang yang takut akan nama Tuhan adalah orang yang tetap tabah dan bertahan dalam imannya ketika menghadapi berbagai macam bentuk kesukaran yang menjadi tanda-tanda akhir zaman (Luk 21: 19). Ia tidak akan patah semangat dan meninggalkan imannya sekalipun mengalami berbagai bentuk tekanan dan himpitan kehidupan.
Orang-orang yang seperti inilah yang pada hari kedatangan Tuhan akan merasakan kebahagiaan, sebab mereka akan memperoleh hidup dan merasakan keselamatan secara sempurna.


Jadi, saudara-saudara, bagi kita, hari Tuhan itu berkah atau celaka? Hal itu bergantung dari bagaimana kita mengisi kehidupan kita. Jika kita hidup sebagai orang yang gegabah dan berbuat fasik, maka hari Tuhan adalah hari penuh kecelakaan bagi kita. Sedangkan jikalau kita hidup sebagai orang yang takut akan nama Tuhan, maka hari Tuhan merupakan hari yang penuh berkah dan kebahagiaan. Oleh karena itu, untuk menutup kotbah ini, saya mengutip sebuah firman Tuhan yang terdapat dalam Efesus 5:15-16  yang mengatakan "Karena itu suadara-suadara, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat."  Selamat menantikan kedatangan Tuhan kita dengan hidup sebagai orang yang takut akan nama Tuhan. Amin.


Wisma Soekowati Asri, 
14 Nov 2013, Pkl. 22.00 WIB
Pdt. Yonatan Wijayanto

Minggu, 03 November 2013

PERJUMPAAN YANG MEMBAWA PEMBARUAN HIDUP



Bacaan:
Bacaan I : Yesaya 1: 10-18
Bacaan Injil : Lukas 19: 1-10

Jika suatu hari Anda bertemu dengan seseorang yang seringkali kencing di depan halaman rumah Anda, bagaimana perasaan Anda dan apa yang akan Anda katakan kepada orang itu? Sedih dan menegur-nya...ya mungkin itu yang akan kita lakukan. Lalu, kalau di kemudian hari setelah teguran itu, Anda menjumpainya lagi dan ternyata masih saja dia melakukan kebiasaannya? Bagaimana perasaan Anda? Marah, kecewa, atau mungkin sebatas jengkel.

Nah, sekarang, jika Anda punya seorang anak yang Anda fasilitasi untuk menempuh pendidikan dengan baik. Namun, ternyata anak itu adalah anak yang tidak mau belajar dengan baik. Sehingga ketika Anda bertanya, “5 X 5 sama dengan berapa?” dan dia menjawab, “sepuluh”. Bagaimana perasaan Anda dan apa yang akan Anda lakukan terhadapnya? Sedih dan mungkin Anda akan memberitahu jawaban yang benar terhadapnya. Lalu, kalau di kemudian hari setelah Anda kasih tahu, dia masih saja menjawab “sepuluh”. Bagaimana perasaan Anda?  Marah, kecewa, atau mungkin sebatas jengkel.

Pertanyaannya adalah kenapa Anda marah? Kenapa kecewa? Kenapa jadi jengkel? Ya, mungkin Anda akan mengatakan, “Bagaimana tidak marah? Sudah dikasih tahu, sudah ditegur, kok ya masih saja melakukan kesalahan yang sama. Itu kan menandakan bahwa dia tidak mau belajar dan berubah”. Di sinilah titik persoalannya. Ketika kita melihat ada orang yang tidak mau belajar dan tidak mau berubah sekalipun sudah ditegur dan dikasih tahu; kita menjadi marah, jengkel, dan kecewa.

Bagaimana kalau ternyata yang tidak mau belajar dan berubah itu adalah kita? Boleh tidak orang lain marah, jengkel, dan kecewa terhadap kita? Jika pertanyaan ini kemudian dikenakan dalam kehidupan rohani kita, maka pertanyaannya menjadi: Boleh tidak Allah marah terhadap kita ketika kita tidak mau berubah sekalipun sudah berulangkali kita ditegur dan diingatkan Allah?

Kitab Yesaya 1: 10-15 menggambarkan kepada kita bagaimana Allah marah, kecewa, dan jengkel terhadap umat-Nya yang tidak mau berubah. Bangsa Israel, pada saat itu memang tidak melupakan apa yang menjadi kewajiban agama. Mereka digambarkan sebagai generasi yang taat menjalankan kewajiban agama. Hal ini terlihat dari tindakan mereka yang rajin beribadah, rajin memberikan persembahan, selalu bersekutu, bahkan tidak pernah lupa berdoa.

Namun, semua tindakan keagamaan itu tidak membuat mereka belajar dan berubah menjadi lebih baik dalam hidup sehari-hari. Mereka tetap saja melakukan kejahatan, penindasan, dan keti-dakadilan. Hal inilah yang membuat Allah jemu, benci, dan memalingkan muka-Nya dari Israel. Allah marah, kecewa, dan jengkel terhadap Israel. Bahkan firman Allah menyamakan mereka dengan Sodom dan Gomora. Sebuah generasi manusia yang hidup dalam kejahatan dan kekejian, sehingga mendapatkan limpahan murka dari Allah.

Bagi Allah, perjumpaan umat dengan Allah seharusnya membuahkan perubahan dalam hidup umat sehari-hari. Oleh karena itu, arahan Allah kepada umat Israel dalam Yesaya 1: 16-17 mengatakan “basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatan yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” Ibadah yang merupakan sarana bagi umat untuk berjumpa dengan Allah memang merupakan sesuatu yang penting untuk dilakukan. Tetapi perubahan hidup sebagai dampak nyata dari peribadahan, juga merupakan hal yang tidak boleh dilupakan oleh umat Allah.

Allah tidak berkenan dan tidak menyukai orang yang rajin beribadah, rajin bersekutu dan rajin berdoa tetapi kelakuan sehari-harinya tidak berpadanan dengan kerajinannya tersebut. Bagi Allah berlaku rumus, siapa telah berjumpa dengan Allah, maka ada perubahan perilaku hidup yang nyata dalam diri orang tersebut. Orang yang dulu berbuat jahat setelah beribadah kepada Allah, mulai meninggalkan kejahatannya; orang yang tadinya melakukan ketidakadilan, berubah mengupayakan keadilan; orang yang tadinya melakukan kekejaman, berbalik mengendalikan orang kejam; orang yang terbiasa menindas orang miskin, berupaya untuk membela dan memperjuangkan hak orang miskin.

Hal inilah yang dilakukan oleh Zakheus dalam Lukas 19: 1-10. Perjumpaannya dengan Tuhan Yesus membawa perubahan nyata dalam hidup Zakheus. Dia yang adalah pemungut cukai, yang suka menarik pajak lebih besar sehingga membuat orang lain sengsara, mulai meninggalkan perilakunya itu dengan mengatakan “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seorang akan kukembalikan empat kali lipat.” (Luk 19: 8) Memang Zakheus tidak menyatakan berhenti dari pekerjaannya sebagai pemungut cukai; namun dia mengalami perubahan perilaku. Dia yang dalam pekerjaannya terbiasa memeras, sekarang ingin hidup benar dan melakukan pekerjaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perilakunya dalam bekerja diubah, bahkan dia siap untuk memberikan ganti rugi kepada setiap pihak yang telah diperasnya.

Bagaimana dengan kita selama ini? Perjumpaan kita dengan Allah dalam peribadahan, doa, dan persekutuan sudahkah mengubah perilaku kita dalam kehidupan ini? Apakah setelah mengalami perjumpaan dengan Allah, kia berubah menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik? Menjadi orang yang mengusahakan kebaikan, memperjuangkan keadilan, mengendalikan orang-orang kejam, dan membela hak-hak orang-orang miskin? Adakah perubahan perilaku sehari-hari kita? Perjumpaan dengan Allah pada hakekatnya adalah perjumpaan yang membawa perubahan hidup. Barangsiapa beribadah kepada Allah, ia dipanggil untuk hidup dalam perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Tuhan menyukai dan berkenan kepada umat-Nya yang menghasilkan perubahan perilaku seiring dengan ajaran yang dinyatakan dalam kebenaran firman-Nya. Selamat menjalani perubahan dan pembaharuan hidup. Tuhan memberkati kita semua. Amin.


Wisma Soekowati,
01 November 2013
Pdt. Yonatan Wijayanto





Minggu, 27 Oktober 2013

SPIRITUALITAS YANG MENGGUGAH HATI BAPA



Bacaan: Lukas 18: 9-14

Ada banyak cara yang dapat kita lakukan dalam hidup ini untuk  memikat hati seseorang. Misalnya: dengan memberi bingkisan/hadiah, mengungkapkan kata-kata pujian (merayu), memberi perhatian, menunjukkan peri-laku yang baik, mempercantik penampilan diri, dsb.
Nah, persoalannya, tema yang sekarang kita gumulkan bukan soal memikat hati seseorang, melainkan tentang menggugah hati Allah. Jika memikat hati seseorang dapat kita lakukan dengan cara-cara yang tadi. Lalu, bagaimana cara agar kita dapat menggugah hati Allah? Spritualitas macam apa yang harus kita miliki agar dapat menggugah hati Allah?

Dalam hal inilah, kita akan belajar dari Injil Lukas 18: 9-14. Dalam bacaan ini, kepada kita disajikan tentang dua tipe orang yang sedang berupaya untuk menggugah hati Allah lewat doa mereka masing-masing.

TIPE PERTAMA DIGAMBARKAN DALAM DIRI ORANG FARISI
Orang Farisi ini digambarkan sedang berupaya menggugah hati Allah dengan cara mengungkapkan doa yang merinci segala bentuk perbuatan baik yang pernah dia lakukan. Dia mengatakan bahwa “...bukan perampok, bukan orang lalim, bukan penzinah,…; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.” Semua yang dijabarkannya itu adalah ritual-ritual iman yang mesti dilakukan, dan semuanya itu adalah baik. Tidak ada yang salah.

Tetapi, persoalannya adalah pada dua klausa yang digambarkan Tuhan Yesus: orang Farisi itu membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Ayat 11 mengatakan: “… karena aku tidak sama seperti semua orang lain…” dan ayat 12 mengatakan: “… dan bukan juga seperti pemungut cukai ini…”
Jadi, cara dia menggugah hati Allah dengan menggunakan perbandingan. Dia berusaha membandingkan dirinya dengan orang lain. Dengan kata lain, ia berusaha menunjukkan kelebihan-kelebihannya dari orang lain. Seakan-akan dia mau menujukkan dan mengatakan bahwa dirinya telah berjasa banyak bagi Allah dengan melakukan berbagai bentuk kebaikan.
Dalam perumpamaan ini, yang perlu kita pahami, persoalannya bukanlah orang Farisi itu berbohong di hadapan Allah. Jadi, katakanlah orang Farisi tersebut sedang berkata jujur di hadapan Allah, tetapi kejujurannya adalah bentuk kejujuran dalam keangkuhan.
TIPE KEDUA DIGAMBARKAN DALAM DIRI PEMUNGUT CUKAI
Tuhan Yesus menggambarkan tipe yang kedua ini adalah tipe orang yang berupaya menggugah hati Allah dengan doa kerendahan hati dan upaya mengkoreksi diri di hadapan Allah. Ayat 13 mengatakan: “Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”
Dalam kalangan orang Yahudi, pemungut cukai selalu dianggap sebagai orang-orang yang berdosa karena memeras rakyat. Tetapi sekalipun dianggap demikian; banyak orang yang saat itu tetap bekerja sebagai pemungut cukai. Para pemungut cukai ini tentu memiliki alasan dan motivasi mereka masing-masing tentang mengapa mereka tetap bekerja sebagai pemungut cukai: entah itu alasan ekonomis, atau karena dilatarbelakangi kedekatan pada penguasa (pemerintah) yang menjanjikan, atau karena usaha tersebut merupakan warisan dari keluarga. 

Tetapi, dalam perumpamaan ini, Tuhan Yesus menggunakan tokoh pemungut cukai untuk mengajarkan arti keberanian mengoreksi diri sendiri, tanpa membandingkan atau menyalahkan orang lain. Keberanian dan kesadaran diri mengaku salah di hadapan Allah memiliki nilai besar daripada segala praktik iman yang dilakukan dalam kesombongan.
LALU, DI ANTARA KEDUA ORANG TERSEBUT, MANA YANG MENGALAMI KEBERHASILAN MENGGUGAH HATI BAPA?

Dalam ayat 14, perumpamaan Tuhan Yesus ini ditutup dengan kesimpulan yang mengatakan “Aku berkata kepadamu: Orang ini (pemungut cukai-red) pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu (orang Farisi-red) tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

Jadi, dalam penilaian Tuhan Yesus, tipe kedua-lah yang dipandang berhasil menggugah hati Allah. Sebab pada tipe orang kedua itulah terdapat spiritualitas rendah hati. Ia tidak sombong dan mengumbar keangkuhan di hadapan Allah; dia lebih menunjukkan dirinya sebagai orang berdosa di hadapan Allah, bukan sebagai orang yang telah berjasa bagi Allah.

JADI, JIKA KITA INGIN MENGGUGAH HATI BAPA, MAKA YANG HARUS KITA LAKUKAN ADALAH:
Pertama, dalam perjumpaan kita dengan Allah, tidak hanya kebaikan kita yang pantas kita persembahkan kepada Allah, tetapi juga kelemahan dan kekurangan kita pantas untuk kita akui di hadapan Allah. Pengakuan dan keterbukaan kita akan kelemahan dan kekurangan kita itulah yang akan membuahkan spiritualitas yang rendah hati, baik di hadapan Allah maupun di hadapan sesama.
Kedua, jangan membandingkan diri. Tindakan membandingkan diri dengan orang lain dan menganggap diri benar, bukanlah bentuk sikap rendah hati. Allah hanya akan tergugah oleh sebuah pengakuan kelemahan manusia, daripada kehebatan manusia.
Ketiga, sebagai manusia yang hidup bersama dengan orang lain, kita perlu belajar menghayati hidup yang jauh dari penghakiman, dan meningkatkan kesadaran diri dengan terus mawas diri dan berani mengoreksi diri di hadapan Allah dan sesama.
Tiga hal inilah yang Tuhan inginkan terjadi dalam kehidupan spiritual kita sebagai orang beriman di tengah dunia ini. Kiranya Tuhan memampukan kita untuk memperhatikan dan melakukannya.
Tuhan Yesus memberkati. Amin


Wisma Soekowati,
25 Oktober 2013; 23.30 WIB
Yonatan Wijayanto