BELAS KASIHAN YANG MENYEMBUHKAN
Minggu, 12 Februari 2012
Minggu Biasa
Warna Liturgis: Hijau
Antar Bacaan: Mazmur 30
Bacaan II : 1 Korintus 9: 24-27
Bacaan III : Markus 1: 40-45
Kesembuhan
terjadi karena inisiatif Allah dan merupakan wujud kasih Allah
Satu keinginan yang
senantiasa ada dalam diri orang yang sakit adalah keinginan untuk sembuh. Sebab
itu, orang yang sakit bersedia untuk melakukan segala upaya demi memperoleh
kesembuhan. Segala bentuk dan cara pengobatan ditempuh dan dijalani, sekalipun
untuk menjalaninya harus menempuh jarak yang sangat jauh dan memerlukan biaya
yang sangat besar. Bahkan terkadang, harga diripun tidak lagi menjadi
penghalang bagi seseorang untuk memperoleh kesembuhan. Ketika ada orang yang
bertanya, “apa kamu tidak malu melakukan hal itu?” Mereka menjawab, “kenapa
harus malu? Yang penting kan saya bisa sembuh.” Itulah yang terlihat dalam diri
orang yang terkena penyakit kusta yang diceritakan dalam Injil Markus 1: 40-45.
Dikisahkan dalam Markus
1:40 orang kusta itu berlutut di hadapan Yesus dan memohon agar Yesus berkenan
mentahirkan dirinya. – untuk memahami
kisah ini, kita harus melihatnya dengan kacamata orang pada masa itu, bukan
kacamata iman Kristen yang sekarang ini kita yakini – Orang kusta ini
berlutut di hadapan Yesus bukan karena ia tahu bahwa Yesus adalah Tuhan atau
Allah sendiri. Ia berlutut dan memohon karena ia mendengar bahwa Yesus adalah
orang yang bisa menyembuhkan penyakit. Artinya, bahwa orang ini sebenarnya
memandang Yesus sama dengan tabib-tabib yang lain yang mempunyai kemampuan
untuk menyembuhkan penyakit seseorang. Dalam pemahaman yang seperti ini, kita
bisa melihat betapa orang ini tidak ragu untuk merendahkan dirinya di hadapan
orang lain, demi mendapatkan kesembuhan. Ia tidak malu dan tidak takut
kehilangan harga dirinya, yang penting ia bisa sembuh.
Namun yang lebih
menarik dari apa yang dilakukan oleh orang kusta ini adalah perkataannya yang
berbunyi “Kalau Engkau mau, Engkau dapat
mentahirkan aku.” Perkataan ini menunjukkan 2 hal yaitu (1) Ia tidak
memaksa Yesus untuk mentahirkan dirinya, sekalipun pada waktu itu pentahiran
menjadi kebutuhan yang sangat mendasar baginya. Sebab dengan pentahiran, ia
tidak perlu lagi diasingkan dari lingkungan masyarakatnya. Oleh pentahiranlah,
orang yang sakit kusta dapat dikembalikan haknya sebagai anggota masyarakat. Tanpa
pentahiran, mereka telah dianggap mati dan tidak lagi diperhitungkan sebagai
bagian dari anggota masyarakat. Bahkan kalau di jalan ada orang yang akan berpapasan
dengannya, orang yang kena kusta itu harus meneriakkan kata “najis! najis!
najis!”. Kata-kata ini untuk memberi peringatan pada orang yang akan berpapasan
dengan dia itu agar menjauh dan tidak bersinggungan dengan dirinya. Jadi
pentahiran merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi seseorang yang terkena
penyakit kusta. Namun sekalipun sedemikian pentingnya pentahiran itu, si kusta
tetap tidak mau memaksa Yesus, dia hanya meminta dan memberi ruang kepada Yesus
untuk menentukan pilihan sendiri, apakah Ia mau mentahirkan atau tidak.
(2) Perkataan si kusta,
“Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” juga menunjukkan betapa
dia menyadari dan yakin betul bahwa pentahirannya hanya akan terjadi kalau
Yesus mau. Dia sadar bahwa kesembuhan dirinya dapat terjadi kalau Yesus
memiliki inisiatif untuk menyembuhkannya. Tanpa adanya inisiatif penyembuhan
dari Yesus, maka cara apapun tidak akan dapat menyembuhkan dirinya.
Apa yang dilakukan dan
dikatakan oleh orang kusta ini memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi
kita yang hidup pada masa sekarang ini. Ketika kita mengalami sakit, terkadang
doa dan permohonan kita bukanlah doa atau permohonan yang memberi ruang kepada
Allah untuk menentukan pilihan. Dalam doa-doa yang kita ungkapkan kepada Allah,
kita cenderung mendikte atau bahkan memaksa Allah agar mau menyembuhkan kita. Seakan-akan
kita yang berhak menentukan bagaimana cara kita sembuh dan bagaimana cara Allah
harus menjawab doa dan permohonan kita. Padahal, kesembuhan hanya akan terjadi
jika Allah berkenan menyembuhkan kita. Tanpa perkenanan dari Allah, apapun cara
yang kita lakukan untuk mendapatkan kesembuhan tidak akan pernah membuahkan
hasil yang baik. Sebab itu, belajar mempercayai Allah di kala kita sakit adalah
hal yang seharusnya terus kita lakukan. Oleh kepercayaan itulah, kita akan
dihantar untuk merasakan jamahan kasih Allah dalam kehidupan kita. Sebagaimana
yang dialami oleh Naaman.
Rasa
percaya menghantar kita untuk merasakan jamahan kasih Allah
Firman Tuhan dalam 2 Raja-raja 5: 1-14 mengisahkan bahwa
pada saat Naaman sakit kusta dan membutuhkan kesembuhan; Elisa, melalui orang
suruhannya, menyuruh Naaman untuk mandi tujuh kali di sungai Yordan, supaya ia
menjadi tahir. Tetapi, Naaman menolak perintah itu, karena cara penyembuhan
yang dilakukan Elisa tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Naaman mengira
bahwa Elisa akan melakukan ritual, memanggil nama Allah dan mengarahkan
tangannya pada tempat yang sakit di tubuh Naaman, lalu Naaman sembuh. Juga
terkait tempat penyembuhan yaitu sungai Yordan. Ia tidak pernah mengira bahwa Allah
Elisa akan memilih sungai Yordan untuk tempat penyembuhan. Di mata Naaman, sungai
Yordan adalah sungai yang tidak lebih bagus dari sungai-sungai yang ada di
negerinya, yaitu Sungai Abana dan Parpar. Melihat pada hal-hal inilah, maka
Naaman kemudian merasa ragu dan enggan untuk mengikuti apa yang dikatakan oleh
Elisa.
Bukankah seperti itu
pula yang kerapkali terjadi dalam kehidupan kita? Keraguan dan keengganan
selalu diawali dari adanya ketidak sesuaian antara apa yang kita alami atau
kita lihat dengan apa yang ada dalam perkiraan kita. Ambil contoh, ketika kita
pergi ke dokter. Pada saat pertama kali kita berjumpa dengan sang dokter dan
ternyata pembawaannya, cara memeriksanya, cara bicaranya dsb tidak sesuai
dengan apa yang ada dalam banyangan kita, apa yang kemudian terjadi? Biasanya
kita akan menjadi ragu dan kurang percaya pada kemampuan sang dokter. Ketika
keraguan itu kemudian kita pelihara terus dalam diri kita, pada akhirnya hanya
akan membuat kita tidak mampu merasakan manfaat dan dampak positif dari
keahlian sang dokter, lalu kita memutuskan untuk berpindah ke dokter yang lain.
Sebab itu, betapa
pentingnya kita membangun kepercayaan kepada pihak yang akan kita mintai
pertolongan untuk menyembuhkan kita. Itulah yang terjadi dalam diri Naaman.
Ketika ia mau mendengar bujukan dari pegawai-pegawainya untuk mengesampingkan
keraguannya dan memberanikan diri untuk membangun kepercayaan pada apa yang dikatakan
Elisa dengan membenamkan dirinya di sungai Yordan sebanyak tujuh kali, ia
mendapatkan kesembuhan atas penyakitnya. Jamahan kasih Allah yang menyembuhkan
mulai dirasakannya.
Dari sinilah kita dapat
melihat adakalanya Allah bekerja tidak sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran
kita. Tidak selalu, Ia memakai cara yang kita bayangkan untuk melepaskan kita
dari penderitaan yang kita alami karena penyakit tertentu. Tetapi sekalipun
demikian, tidak seharusnya hal itu membuat kita kemudian kehilangan rasa
percaya kepada-Nya. Sebab hanya dengan rasa percaya yang tetap kita bagun dan pelihara
itulah, kita akan dihantar untuk dapat merasakan jamahan kasih Allah dalam
hidup kita.
Cara
membangun dan memelihara rasa percaya di kala sakit
Lalu bagaimana caranya
agar kita tetap dapat membangun dan memelihara rasa percaya kita kepada Allah
di kala kita sakit? Ada dua hal yang dapat kita lakukan :
1. Menjaga relasi
dengan Tuhan
Dalam Mazmur 30 disampaikan pujian kepada
Allah karena penyelamatan dari penyakit yang fatal. Ayat 2-4 melukiskan belas
kasih Ilahi yang menyembuhkan dan menyelamatkan orang yang sakit dari kekuatan
maut yang merusak. Sang Pemazmur mengajak kepada umat untuk merasakan perjalanan
pergumulannya, mulai dari rasa percaya diri yang tinggi (ay.7-8) sampai pada datangnya
penyakit yang menyerang dirinya (ay 8b-11) dan akhirnya umat diajak merasakan
kelegaan atas kesembuhan yang Tuhan perbuat dalam diri sang pemazmur (12-13).
Mazmur ini menunjukkan
kepada kita bahwa proses kesembuhan bergerak dari “kematian” masuk kepada “hidup”.
Melalui mazmur ini, kita dapat melihat bahwa kesembuhan selalu ada dalam relasi
antara Allah dengan umat-Nya. Sebab itu menjaga relasi dengan Tuhan merupakan
hal yang perlu dilakukan oleh orang yang sedang sakit. Boleh saja penyakit yang
kita derita itu menghalangi kita untuk pergi ke gereja atau mengikuti acara persekutuan-persekutuan,
tetapi jangan biarkan penyakit kita itu juga menghalangi kita untuk tetap
menjaga relasi kita dengan Tuhan. Bukankah pada masa sekarang ini telah banyak
buku-buku renungan yang bisa kita baca sambil tiduran di atas tepat tidur?
Bukankah sekarang ini juga telah banyak stasiun radio dan televisi yang
memiliki waktu-waktu tertentu untuk menyampaikan siaran rohani Kristen?
Manfaatkanlah itu semua untuk tetap menjaga relasi kita dengan Tuhan di kala
kita sakit. Karena hanya dengan menjaga relasi kita dengan Tuhan, kita akan
dimampukan untuk tetap bertahan dalam iman percaya kita, sekalipun kita
mengalami penderitaan karena penyakit yang kita rasakan.
2.
Tetap terfokus pada pengharapan kita
Jika kita memperhatikan
sebuah perlombaan lari marathon, setiap pelari pasti akan berusaha sekuat
tenaga untuk dapat tetap berlari, sekalipun ada banyak rintangan yang harus
dihadapi. Kaki mereka mungkin terluka, tubuh mereka mungkin terasa lelah,
tenaga mereka mungkin terkuras, nafas mereka mungkin terasa hampir habis.
Tetapi sekalipun demikian keadaannya, mereka akan tetap terus berlari untuk mencapai
garis finish. Sebab di garis akhir itulah, hadiah telah menanti mereka. Siapa
yang tetap dapat bertahan dan terus berlari, merekalah yang akan memperoleh
hadiah itu. Apapun yang terjadi mereka akan terus berlari, karena mereka
memiliki sebuah pengharapan untuk memperoleh hadiah yang telah disediakan.
Demikianlah Paulus mengambarkan
kehidupan kita di tengah dunia ini, sebagaimana yang ia tulis dalam 1 Korintus 9: 24-27. Setiap orang Kristen
pasti memiliki satu pengharapan yang sama, yaitu mendapatkan hadiah kehidupan
kekal bersama dengan Bapa di Surga. Untuk dapat memperoleh pengharapan itu tentu
dibutuhkan perjuangan. Kita ini seperti orang yang sedang mengikuti
pertandingan lari yang harus memiliki kedisiplinan diri, terus memusatkan
perhatian pada garis akhir, dan mengalahkan semua hawa nafsu untuk mendapatkan
hadiah. Sangat dimungkinkan sekali, dalam sepanjang lintasan yang harus kita lalui
ada rintangan-rintangan yang menghadang yang berupa penyakit, penderitaan,
kesulitan, dsb. Oleh karenanya, mungkin kita merasa lelah, terluka, tenaga
terkuras, atau bahkan nafas kita terasa akan habis, tidak kuat menanggung
semuanya.
Namun semua itu tidak
seharusnya menghentikan perjuangan kita untuk terus berlari hingga mencapai
garis akhir. Apakah kita rela kehilangan hadiah itu hanya karena kita tidak sabar
menanggung rasa sakit yang kita rasakan? Apakah kita mau kehilangan kesempatan
hidup kekal karena kita malas menghadapi segala kesulitan dan penderitaan hidup?
Bukankah suatu hal yang sangat disayangkan jika hanya karena ketidak sabaran dan
kemalasan yang kita rasakan akhirnya membuat kita kehilangan kesempatan untuk
menerima mahkota kehidupan? Karena itu, tetaplah terfokus pada pengharapan kita
untuk mencapai garis akhir. Sebab di sanalah kita akan memperoleh hadiah yang
indah, yaitu mahkota kehidupan yang Tuhan sediakan bagi setiap orang yang tetap
bertahan hingga mampu mencapai garis akhir.
Itulah dua hal yang
dapat kita lakukan untuk dapat terus bertahan dengan iman percaya kita kepada
Tuhan di kala kita sakit. Penyakit memang seringkali membuat kita merasa lelah,
merepotkan, hampir putus asa, dan jengkel. Namun tetap percayalah, bahwa jika
Tuhan berkenan, Tuhan akan menolong kita dengan memberikan belas kasihan-Nya
kepada kita dan menyembuhkan kita dengan cara-Nya yang indah. Tuhan memberkati.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar