SUDAHKAH ANDA BERDOA DAN MENYAPA TUHAN HARI INI?

Sabtu, 18 Februari 2012

BELAS KASIHAN YANG MENYEMBUHKAN

BELAS KASIHAN YANG MENYEMBUHKAN
Minggu, 12 Februari 2012
Minggu Biasa
Warna Liturgis: Hijau

Bacaan I         : 2 Raja-raja 5: 1-14
Antar Bacaan: Mazmur 30
Bacaan II       : 1 Korintus 9: 24-27
Bacaan III      : Markus 1: 40-45

Kesembuhan terjadi karena inisiatif Allah dan merupakan wujud kasih Allah
Satu keinginan yang senantiasa ada dalam diri orang yang sakit adalah keinginan untuk sembuh. Sebab itu, orang yang sakit bersedia untuk melakukan segala upaya demi memperoleh kesembuhan. Segala bentuk dan cara pengobatan ditempuh dan dijalani, sekalipun untuk menjalaninya harus menempuh jarak yang sangat jauh dan memerlukan biaya yang sangat besar. Bahkan terkadang, harga diripun tidak lagi menjadi penghalang bagi seseorang untuk memperoleh kesembuhan. Ketika ada orang yang bertanya, “apa kamu tidak malu melakukan hal itu?” Mereka menjawab, “kenapa harus malu? Yang penting kan saya bisa sembuh.” Itulah yang terlihat dalam diri orang yang terkena penyakit kusta yang diceritakan dalam Injil Markus 1: 40-45. 

Dikisahkan dalam Markus 1:40 orang kusta itu berlutut di hadapan Yesus dan memohon agar Yesus berkenan mentahirkan dirinya. – untuk memahami kisah ini, kita harus melihatnya dengan kacamata orang pada masa itu, bukan kacamata iman Kristen yang sekarang ini kita yakini – Orang kusta ini berlutut di hadapan Yesus bukan karena ia tahu bahwa Yesus adalah Tuhan atau Allah sendiri. Ia berlutut dan memohon karena ia mendengar bahwa Yesus adalah orang yang bisa menyembuhkan penyakit. Artinya, bahwa orang ini sebenarnya memandang Yesus sama dengan tabib-tabib yang lain yang mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan penyakit seseorang. Dalam pemahaman yang seperti ini, kita bisa melihat betapa orang ini tidak ragu untuk merendahkan dirinya di hadapan orang lain, demi mendapatkan kesembuhan. Ia tidak malu dan tidak takut kehilangan harga dirinya, yang penting ia bisa sembuh. 

Namun yang lebih menarik dari apa yang dilakukan oleh orang kusta ini adalah perkataannya yang berbunyi “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” Perkataan ini menunjukkan 2 hal yaitu (1) Ia tidak memaksa Yesus untuk mentahirkan dirinya, sekalipun pada waktu itu pentahiran menjadi kebutuhan yang sangat mendasar baginya. Sebab dengan pentahiran, ia tidak perlu lagi diasingkan dari lingkungan masyarakatnya. Oleh pentahiranlah, orang yang sakit kusta dapat dikembalikan haknya sebagai anggota masyarakat. Tanpa pentahiran, mereka telah dianggap mati dan tidak lagi diperhitungkan sebagai bagian dari anggota masyarakat. Bahkan kalau di jalan ada orang yang akan berpapasan dengannya, orang yang kena kusta itu harus meneriakkan kata “najis! najis! najis!”. Kata-kata ini untuk memberi peringatan pada orang yang akan berpapasan dengan dia itu agar menjauh dan tidak bersinggungan dengan dirinya. Jadi pentahiran merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi seseorang yang terkena penyakit kusta. Namun sekalipun sedemikian pentingnya pentahiran itu, si kusta tetap tidak mau memaksa Yesus, dia hanya meminta dan memberi ruang kepada Yesus untuk menentukan pilihan sendiri, apakah Ia mau mentahirkan atau tidak.

(2) Perkataan si kusta, “Kalau Engkau mau, Engkau dapat  mentahirkan aku.” juga menunjukkan betapa dia menyadari dan yakin betul bahwa pentahirannya hanya akan terjadi kalau Yesus mau. Dia sadar bahwa kesembuhan dirinya dapat terjadi kalau Yesus memiliki inisiatif untuk menyembuhkannya. Tanpa adanya inisiatif penyembuhan dari Yesus, maka cara apapun tidak akan dapat menyembuhkan dirinya.

Apa yang dilakukan dan dikatakan oleh orang kusta ini memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita yang hidup pada masa sekarang ini. Ketika kita mengalami sakit, terkadang doa dan permohonan kita bukanlah doa atau permohonan yang memberi ruang kepada Allah untuk menentukan pilihan. Dalam doa-doa yang kita ungkapkan kepada Allah, kita cenderung mendikte atau bahkan memaksa Allah agar mau menyembuhkan kita. Seakan-akan kita yang berhak menentukan bagaimana cara kita sembuh dan bagaimana cara Allah harus menjawab doa dan permohonan kita. Padahal, kesembuhan hanya akan terjadi jika Allah berkenan menyembuhkan kita. Tanpa perkenanan dari Allah, apapun cara yang kita lakukan untuk mendapatkan kesembuhan tidak akan pernah membuahkan hasil yang baik. Sebab itu, belajar mempercayai Allah di kala kita sakit adalah hal yang seharusnya terus kita lakukan. Oleh kepercayaan itulah, kita akan dihantar untuk merasakan jamahan kasih Allah dalam kehidupan kita. Sebagaimana yang dialami oleh Naaman.

Rasa percaya menghantar kita untuk merasakan jamahan kasih Allah
Firman Tuhan dalam 2 Raja-raja 5: 1-14 mengisahkan bahwa pada saat Naaman sakit kusta dan membutuhkan kesembuhan; Elisa, melalui orang suruhannya, menyuruh Naaman untuk mandi tujuh kali di sungai Yordan, supaya ia menjadi tahir. Tetapi, Naaman menolak perintah itu, karena cara penyembuhan yang dilakukan Elisa tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Naaman mengira bahwa Elisa akan melakukan ritual, memanggil nama Allah dan mengarahkan tangannya pada tempat yang sakit di tubuh Naaman, lalu Naaman sembuh. Juga terkait tempat penyembuhan yaitu sungai Yordan. Ia tidak pernah mengira bahwa Allah Elisa akan memilih sungai Yordan untuk tempat penyembuhan. Di mata Naaman, sungai Yordan adalah sungai yang tidak lebih bagus dari sungai-sungai yang ada di negerinya, yaitu Sungai Abana dan Parpar. Melihat pada hal-hal inilah, maka Naaman kemudian merasa ragu dan enggan untuk mengikuti apa yang dikatakan oleh Elisa.

Bukankah seperti itu pula yang kerapkali terjadi dalam kehidupan kita? Keraguan dan keengganan selalu diawali dari adanya ketidak sesuaian antara apa yang kita alami atau kita lihat dengan apa yang ada dalam perkiraan kita. Ambil contoh, ketika kita pergi ke dokter. Pada saat pertama kali kita berjumpa dengan sang dokter dan ternyata pembawaannya, cara memeriksanya, cara bicaranya dsb tidak sesuai dengan apa yang ada dalam banyangan kita, apa yang kemudian terjadi? Biasanya kita akan menjadi ragu dan kurang percaya pada kemampuan sang dokter. Ketika keraguan itu kemudian kita pelihara terus dalam diri kita, pada akhirnya hanya akan membuat kita tidak mampu merasakan manfaat dan dampak positif dari keahlian sang dokter, lalu kita memutuskan untuk berpindah ke dokter yang lain.

Sebab itu, betapa pentingnya kita membangun kepercayaan kepada pihak yang akan kita mintai pertolongan untuk menyembuhkan kita. Itulah yang terjadi dalam diri Naaman. Ketika ia mau mendengar bujukan dari pegawai-pegawainya untuk mengesampingkan keraguannya dan memberanikan diri untuk membangun kepercayaan pada apa yang dikatakan Elisa dengan membenamkan dirinya di sungai Yordan sebanyak tujuh kali, ia mendapatkan kesembuhan atas penyakitnya. Jamahan kasih Allah yang menyembuhkan mulai dirasakannya. 

Dari sinilah kita dapat melihat adakalanya Allah bekerja tidak sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran kita. Tidak selalu, Ia memakai cara yang kita bayangkan untuk melepaskan kita dari penderitaan yang kita alami karena penyakit tertentu. Tetapi sekalipun demikian, tidak seharusnya hal itu membuat kita kemudian kehilangan rasa percaya kepada-Nya. Sebab hanya dengan rasa percaya yang tetap kita bagun dan pelihara itulah, kita akan dihantar untuk dapat merasakan jamahan kasih Allah dalam hidup kita.

Cara membangun dan memelihara rasa percaya di kala sakit
Lalu bagaimana caranya agar kita tetap dapat membangun dan memelihara rasa percaya kita kepada Allah di kala kita sakit? Ada dua hal yang dapat kita lakukan :
 
1. Menjaga relasi dengan Tuhan
Dalam Mazmur 30 disampaikan pujian kepada Allah karena penyelamatan dari penyakit yang fatal. Ayat 2-4 melukiskan belas kasih Ilahi yang menyembuhkan dan menyelamatkan orang yang sakit dari kekuatan maut yang merusak. Sang Pemazmur mengajak kepada umat untuk merasakan perjalanan pergumulannya, mulai dari rasa percaya diri yang tinggi (ay.7-8) sampai pada datangnya penyakit yang menyerang dirinya (ay 8b-11) dan akhirnya umat diajak merasakan kelegaan atas kesembuhan yang Tuhan perbuat dalam diri sang pemazmur (12-13).

Mazmur ini menunjukkan kepada kita bahwa proses kesembuhan bergerak dari “kematian” masuk kepada “hidup”. Melalui mazmur ini, kita dapat melihat bahwa kesembuhan selalu ada dalam relasi antara Allah dengan umat-Nya. Sebab itu menjaga relasi dengan Tuhan merupakan hal yang perlu dilakukan oleh orang yang sedang sakit. Boleh saja penyakit yang kita derita itu menghalangi kita untuk pergi ke gereja atau mengikuti acara persekutuan-persekutuan, tetapi jangan biarkan penyakit kita itu juga menghalangi kita untuk tetap menjaga relasi kita dengan Tuhan. Bukankah pada masa sekarang ini telah banyak buku-buku renungan yang bisa kita baca sambil tiduran di atas tepat tidur? Bukankah sekarang ini juga telah banyak stasiun radio dan televisi yang memiliki waktu-waktu tertentu untuk menyampaikan siaran rohani Kristen? Manfaatkanlah itu semua untuk tetap menjaga relasi kita dengan Tuhan di kala kita sakit. Karena hanya dengan menjaga relasi kita dengan Tuhan, kita akan dimampukan untuk tetap bertahan dalam iman percaya kita, sekalipun kita mengalami penderitaan karena penyakit yang kita rasakan. 

2. Tetap terfokus pada pengharapan kita
Jika kita memperhatikan sebuah perlombaan lari marathon, setiap pelari pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk dapat tetap berlari, sekalipun ada banyak rintangan yang harus dihadapi. Kaki mereka mungkin terluka, tubuh mereka mungkin terasa lelah, tenaga mereka mungkin terkuras, nafas mereka mungkin terasa hampir habis. Tetapi sekalipun demikian keadaannya, mereka akan tetap terus berlari untuk mencapai garis finish. Sebab di garis akhir itulah, hadiah telah menanti mereka. Siapa yang tetap dapat bertahan dan terus berlari, merekalah yang akan memperoleh hadiah itu. Apapun yang terjadi mereka akan terus berlari, karena mereka memiliki sebuah pengharapan untuk memperoleh hadiah yang telah disediakan.

Demikianlah Paulus mengambarkan kehidupan kita di tengah dunia ini, sebagaimana yang ia tulis dalam 1 Korintus 9: 24-27. Setiap orang Kristen pasti memiliki satu pengharapan yang sama, yaitu mendapatkan hadiah kehidupan kekal bersama dengan Bapa di Surga. Untuk dapat memperoleh pengharapan itu tentu dibutuhkan perjuangan. Kita ini seperti orang yang sedang mengikuti pertandingan lari yang harus memiliki kedisiplinan diri, terus memusatkan perhatian pada garis akhir, dan mengalahkan semua hawa nafsu untuk mendapatkan hadiah. Sangat dimungkinkan sekali, dalam sepanjang lintasan yang harus kita lalui ada rintangan-rintangan yang menghadang yang berupa penyakit, penderitaan, kesulitan, dsb. Oleh karenanya, mungkin kita merasa lelah, terluka, tenaga terkuras, atau bahkan nafas kita terasa akan habis, tidak kuat menanggung semuanya. 

Namun semua itu tidak seharusnya menghentikan perjuangan kita untuk terus berlari hingga mencapai garis akhir. Apakah kita rela kehilangan hadiah itu hanya karena kita tidak sabar menanggung rasa sakit yang kita rasakan? Apakah kita mau kehilangan kesempatan hidup kekal karena kita malas menghadapi segala kesulitan dan penderitaan hidup? Bukankah suatu hal yang sangat disayangkan jika hanya karena ketidak sabaran dan kemalasan yang kita rasakan akhirnya membuat kita kehilangan kesempatan untuk menerima mahkota kehidupan? Karena itu, tetaplah terfokus pada pengharapan kita untuk mencapai garis akhir. Sebab di sanalah kita akan memperoleh hadiah yang indah, yaitu mahkota kehidupan yang Tuhan sediakan bagi setiap orang yang tetap bertahan hingga mampu mencapai garis akhir.

Itulah dua hal yang dapat kita lakukan untuk dapat terus bertahan dengan iman percaya kita kepada Tuhan di kala kita sakit. Penyakit memang seringkali membuat kita merasa lelah, merepotkan, hampir putus asa, dan jengkel. Namun tetap percayalah, bahwa jika Tuhan berkenan, Tuhan akan menolong kita dengan memberikan belas kasihan-Nya kepada kita dan menyembuhkan kita dengan cara-Nya yang indah. Tuhan memberkati. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar