PERJUMPAAN YANG MENGUBAHKAN
Minggu, 05 Februari 2012
Minggu Biasa
Warna Liturgis: Hijau
Antar
Bancaan : Mazmur 147: 1-11, 20c
Bacaan
II : 1 Korintus 9: 16-23
Bacaan III : Markus 1: 29-39
Ibadah
merupakan suatu moment perjumpaan dengan Tuhan
Sebuah pertanyaan yang
selalu menarik ditanyakan adalah “Untuk apa Anda setiap hari Minggu pergi ke
Gereja?”, tentu dengan segera, Anda akan mejawab, “untuk beribadah kepada
Tuhan”. Tapi jika pertanyaan ini kemudian dipertajam lagi dengan pertanyaan,
“untuk apa Anda beribadah kepada Tuhan?” Maka apa jawaban Anda? Ketika sampai
pada pertanyaan ini, tentunya kita mempunyai berbagai macam jawaban sesuai
dengan pemahaman kita masing-masing. Ada orang yang mungkin memberi jawab,
untuk menyembah Tuhan atau untuk
memuji Tuhan atau untuk mendengarkan
firman Tuhan atau untuk bersyukur
kepada Tuhan atau untuk berdoa kepada
Tuhan. Jawaban-jawaban tersebut tentu tidaklah salah, tetapi sadar atau tidak,
jika kita perhatikan, jawaban-jawaban tersebut sebenarnya hanya mengungkapkan
apa yang orang lakukan di dalam peribadahan di gereja. Lebih pada hal-hal
mekanis atau hal-hal yang rutin terjadi dalam sebuah Ibadah dan belum menjawab
essensi dari peribadahan itu sendiri.
Ibadah pada hakekatnya merupakan perjumpaan antara Tuhan dengan umat-Nya, yang di dalamnya Allah berkenan menuntun umat untuk menjalani kehidupan dengan menyatakan firman-Nya dan umat diberi kesempatan untuk memuji Tuhan, mendengarkan firman Tuhan, bersyukur, dan berdoa. Ibadah bukan sekedar acara ritual keagamaan, melainkan betul-betul merupakan kesempatan khusus di mana umat dapat berjumpa dan berkomunikasi dengan Tuhan.
Namun sangat
disayangkan, pada masa sekarang ini, agaknya ibadah itu sendiri tidak lagi mampu
membawa perubahan dalam kehidupan umat Tuhan. Jika kita perhatikan dalam lingkungan
kita, banyak orang pergi beribadah kepada Tuhan, tetapi pola kehidupannya juga
tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang tidak beribadah kepada Tuhan. Perbuatan-perbuatan
yang tidak benar, tindakan-tindakan jahat, penghalalan segala cara dalam memperoleh nafkah, percabulan, perjudian, kekerasan, dsb tetap saja dilakukan oleh mereka yang mengaku dirinya taat
beribadah kepada Tuhan. Ibadah pada masa sekarang ini, agaknya hanya sekedar
menjadi sebuah rutinitas keagamaan dalam kehidupan manusia. Kalau orang mau
melakukannya, hal itu semata-mata dipandang sebagai bentuk menjalankan kewajiban
agama. Ibadah seakan-akan tidak lagi menjadi moment perjumpaan umat dengan
Allah yang mengubahkan kehidupan umat menjadi lebih baik dan benar. Jika hal
ini dibiarkan berlangsung terus menerus dan tidak segera dibenahi, maka akan
datang saatnya, di mana Agama akan kehilangan perannya dalam menata kehidupan
seluruh umat manusia.
Lalu apa yang harus
kita wujudkan agar peribadahan yang kita lakukan benar-benar mengubah kehidupan
kita? Dalam hal inilah kita akan belajar dari ayat-ayat bacaan kita hari ini.
Ada 3 hal yang harus terwujud dalam kehidupan kita selaku orang-orang yang
beribadah. Adapun ketiga hal itu adalah:
1.
Menyadari akan kebesaran dan kuasa Tuhan
Dalam Yesaya 40: 21-31, Tuhan digambarkan
sebagai Allah yang sangat berkuasa. Ia berkuasa atas alam, maupun atas umat
manusia, termasuk para pembesar di bumi; Allah yang tidak dapat dibandingkan
dengan apapun dan siapapun. Uraian mengenai kebesaran Allah ini menjawab pergumulan
umat, sebagai mana terungkap dalam pertanyaan Tuhan kepada mereka; pertanyaan
yang tidak dapat tidak harus dijawab, “tidak ada yang dapat disamakan dengan
Allah”.
Tuhan mengingatkan umat
dalam pembuangan untuk membuang jauh-jauh pikiran bahwa Tuhan sudah melupakan
mereka, bahwa kuasa-Nya kurang dibandingkan dengan kuasa para raja yang
menjajah mereka pada waktu itu. Umat Allah tidak perlu takut, merasa bahwa
masalah dan kesukaran mereka terlalu besar, kuatir bahwa Tuhan tidak dapat
mengatasi masalah dan kesukaran mereka, atau tidak dapat mengalahkan dan
menghukum penindas mereka. Tuhan mereka tetap Allah yang Mahakuasa, yang tidak
tertandingi; dan dalam kasih-Nya Ia tetap memerhatikan dan memedulikan umat-Nya
yang ada dalam pembuangan. Ia akan bangkit dan memulihkan mereka, memberikan
mereka kekuatan kembali.
Dari uraian kitab Yesaya 40: 21-31 ini kita dapat melihat
bahwa kehadiran Allah dalam kehidupan umat, ditandai dengan adanya penghiburan
dan penguatan yang Allah berikan kepada umat-Nya yang berada dalam pergumulan
hidup. Hal itu pula yang nampak dalam setiap moment kehadiran Tuhan kita Yesus
Kristus, yang dikisahkan dalam Markus 1: 29-39. Kehadiran-Nya di rumah ibu mertua Petrus, ternyata memberi
jawab atas pergumulan yang sedang dihadapi oleh keluarga itu. Ibu mertua Petrus
yang sedang sakit demam, segera mendapatkan kesembuhan. Bahkan banyak orang
sakit dan kerasukan setan juga mendapatkan jalan keluar atas permasalahan yang
mereka hadapi masing-masing. Mereka yang sakit mendapatkan kesembuhan dan
mereka yang kerasukan setan mendapat
kelepasan.
Jika kehadiran Allah
ditandai dengan hal yang demikian, maka ibadah yang menghantar umat untuk
berjumpa dengan Allah seharusnya membuat orang yang datang beribadah dengan
membawa pergumulannya; pulang dengan satu keyakinan bahwa ia akan dikuatkan dan
dimampukan untuk menghadapi pergumulannya, sebab Allah yang Mahakuasa tetap ada
untuk memerhatikan dan memedulikannya. Perasaan kuatir, takut, dan gelisah yang
dirasakannya mulai digantikan dengan perasaan tenang dan yakin untuk kembali berjalan di tengah kehidupan yang
harus dilewatinya. Hal ini berarti juga bahwa perjumpaannya dengan Allah dalam
peribadahan membuatnya mengalami perubahan dalam memandang hidup dan
kesukarannya. Tidak lagi dalam perspektif yang melemahkan, tetapi dalam
persektif yang menguatkan. Ia akan menyadari bahwa kebesaran dan kekuasaan
Tuhan jauh melebihi segala permasalahan hidup yang sedang dihadapinya.
Bahkan dengan
kesadarannya itu, ia akan dimampukan untuk bersaksi kepada orang lain tentang
kebesaran dan kuasa Tuhan, sehingga orang lain juga mau datang untuk berjumpa
dengan Tuhan lewat peribadahan yang kita lakukan. Sebagaimana yang terjadi
dalam peristiwa pengusiran setan dan kesembuhan ibu mertua Petrus. Peristiwa
itu mengakibatkan banyak orang datang kepada Tuhan Yesus untuk berjumpa dengan
Dia (Markus 1: 29-39). Mengapa hal
itu terjadi? Tentu tidak lepas dari peran orang-orang yang datang dalam
peristiwa itu, yang kemudian memberitakan peristiwa yang mereka lihat dan alami
kepada orang lain, sehingga membuat mereka mau datang kepada Tuhan Yesus.
2. Memuji Tuhan dalam segala keadaan
Mazmur
147: 1-11, 20c yang kita baca ini sejak awal sampai
akhir adalah mazmur puji-pujian. Mazmur ini dimulai dan diakhiri dengan pujian
kepada Tuhan, ‘Haleluya’. Ungkapan ini ingin mengatakan bahwa hidup umat
percaya hendaknya berisikan pujian kepada Tuhan, terlepas dari apapun yang
dihadapi dan dialami umat percaya.
Mazmur 147 ini terdiri
dari 3 bagian yang masing-masing bagiannya dimulai dengan ajakan untuk memuji
Tuhan. Bagian pertama berisikan ajakan untuk memuji Tuhan karena Kebaikan-Nya
atas Israel. Bagian kedua berisikan ajakan untuk memuji Tuhan karena
pemeliharaan-Nya atas alam semesta. Sedangkan bagian ketiga berisikan ajakan
untuk memuji Tuhan karena pemeliharaan-Nya atas Yerusalem.
Bagian yang kita baca
hari ini termasuk dalam kelompok/bagian yang pertama dan bagian yang ketiga.
Isi pujian tersebut menunjuk pada masa di mana umat Israel masih
tercerai-berai, belum kembali ke tanah Palestina. Pada masa itu, umat Israel
adalah umat yang patah hati dan terluka, karena mereka sedang menjalani masa
pembuangan. Namun, mereka dipanggil untuk memuji Tuhan, terlepas dari situasi
dan kondisi mereka yang mengenaskan. Pujian itu didasarkan bukan pada keadaan
yang sedang mereka alami, melainkan didasarkan pada keyakinan akan kebaikan dan
pemeliharaan Allah atas kehidupan mereka, sekalipun dalam keadaan yang tidak
menyenangkan.
Demikian pula seharusnya
yang terjadi dalam diri orang-orang yang beribadah kepada Tuhan. Ibadah yang
dilakukan di gereja-gereja seringkali berisikan ajakan kepada umat untuk
menaikkan puji-pujian kepada Allah, sekalipun umat sedang dalam keadaan hidup
yang tidak menyenangkan. Persoalannya adalah apakah kita memiliki kesediaan
untuk mewujudkan kehidupan yang senantiasa mencerminkan pujian kita terhadap
kebesaran dan kuasa Tuhan? Pujian yang diungkapkan oleh Sang Pemazmur dalam
bacaan kita kali ini bukanlah sekedar bentuk pujian yang diungkapkan di mulut saja,
melainkan sebuah pujian yang benar-benar keluar dari hati yang dipenuhi keyakinan
atas kebaikan dan pemeliharaan Allah yang terjadi dalam kehidupannya. Bagaimana
kita selama ini? Apakah kita juga menjalani kehidupan ini sebagai bentuk pujian
kita kepada Allah, sekalipun sedang dalam kondisi yang susah?
3.
Memiliki sikap yang terbuka (1 Korintus 9: 16-23)
Perjumpaan Paulus
dengan Tuhan Yesus agaknya telah membawa perubahan yang cukup radikal dalam
diri Paulus. Bukan hanya soal sikapnya terhadap para pengikut Kristus yang
telah berubah seratus delapan puluh derajat. Tetapi, juga penerimaannya
terhadap orang yang berbeda dengan dirinya. Dia yang dulu tidak bisa menghargai
orang-orang yang berbeda dengan dirinya, semenjak berjumpa dengan Tuhan Yesus,
ia menjadi pribadi yang dapat menerima keberadaan orang lain. Penerimaannya
terhadap orang lain ini di dasari atas kesadaran akan perannya di tengah dunia sebagai
duta Kristus. Ia sadar bahwa hanya dengan menerima keberadaan orang lain, dia
akan dimampukan untuk memenangkan orang itu. Sikapnya yang terbuka membuat ia
mampu untuk memberitakan kasih Allah kepada setiap orang, termasuk kepada
mereka yang berbeda pandangan dengan dirinya.
Demikian pula dengan
kita sebagai umat Allah pada masa sekarang. Perjumpaan kita dengan Allah dalam
setiap peribadahan yang kita ikuti, seharusnya membuat kita memiliki sikap yang
semakin terbuka. Dengan keterbukaan, kita akan dimampukan untuk membangun
relasi dengan banyak orang. Sikap yang terbuka akan memudahkan kita untuk masuk
dalam komunitas yang berbeda dengan kita dan ikut mewarnai keberadaan mereka
dengan pandangan-pandangan Kristiani kita. Namun sayangnya, seringkali yang
kita jumpai dalam hidup ini, semakin orang merasa diri memiliki kerohanian yang
baik, semakin orang itu mencoba menutup diri dengan dunia atau orang-orang yang
berbeda keyakinan dengan dirinya. Jika sikap yang demikian kita kembangkan
terus, bagaimana mungkin kita mampu menjadi garam dan terang di tengah-tengah
dunia ini? Apakah dengan menutup diri kita mampu untuk member kesaksian tentnag
Kristus kepada mereka yang belum mengenal-Nya.
Sebab itu, marilah kita
belajar untuk memiliki sikap yang terbuka dalam pergaulan di tengah-tengah
kehidupan kita masing-masing. Perjumpaan kita dengan Allah pada dasarnya
mendorong kita untuk semakin hidup dalam sikap yang terbuka dengan setiap
sesama yang ada di lingkungan kita. Jika Tuhan telah mengubah Paulus yang begitu
keras dan tertutup pada orang-orang yang berbeda dengan dirinya, Tuhan juga
ingin mengajak kita untuk mengubah diri kita untuk menjadi pribadi yang terbuka
dan mau bergaul dengan sesama kita.
Itulah tiga hal yang
seharusnya terwujud dalam kehidupan setiap orang yang beribadah kepada Tuhan.
Dengan ketiganya diharapkan kita mampu menunjukkan perubahan hidup sebagai
bentuk tanggapan kita atas perjumpaan kita dengan Tuhan dalam setiap
peribadahan. Kerajinan kita dalam beribadah tidak akan dapat berarti apa-apa
bagi kehidupan ini, jika tidak disertai dengan kesediaan kita untuk mewujudkan
perbuahan hidup sebagaimana yang Tuhan kehendaki. Selamat menjalani perubahan
hidup. Tuhan memberkati. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar