Refleksi
menyongsong Jumat Agung ini diambil dari sebuah karya besar Kahlil Gibran yang
ditulisnya pada hari Jumat Agung dan dimuat dalam Bunga Rampai Al-Awasif (Prahara), yang diterbitkan
oleh penerbit Idarah al-Hilal, di
Kairo pada musim panas tahun 1920. Al-Awasif
sendiri merupakan kumpulan karya-karya
Gibran yang ditulis antara tahun 1912-1918.
Hari ini, dan pada hari
yang sama tiap-tiap tahun, anak-anak manusia terjaga dari tidur lelap mereka
dan berdiri di depan hantu-hantu zaman, memandang dengan mata duka ke arah Jabal
Julguta untuk menyaksikan Yesus dari Nazaret dipakukan di kayu salib. Tetapi
ketika hari siang itu berlalu dan malam pun datang, anak-anak manusia kembali
berdoa dan berlutut di hadapan berhala-berhala, berdiri tegak di atas tiap-tiap
puncak bukit, tiap-tiap padang rumput, dan tiap-tiap musim menuai gandum.
Hari ini pula,
jiwa-jiwa orang Kristen naik di atas sayap-sayap kenangan dan terbang menuju
Yerusalem. Di sana mereka akan berdiri saling bergerombol, memukuli dada mereka
sendiri seraya memandang Yesus yang dimahkotai ayaman semak duri, tangan-Nya
mencekam di hadapan cakrawala, dan memandang dari balik kerudung kematian
menuju kepada kedalaman Kehidupan. Namun tatkala tirai malam hampir di atas
panggung siang dam drama singkat itu berakhir, orang-orang Kristen segera
bergegas pulang dalam kelompok-kelompok mereka, lalu merebahkan diri dalam bayang-bayang
kelupaan masa silam, di antara selimut-selimut lepas kegoblokan dan kemalasan.
……
Perempuan yang
menyibukkan diri mereka dalam kemewahan hidup akan bangkit hari ini dari tempat duduknya, untuk melihat
kesedihan Bunda Maria, Sang Perawan Suci yang berdiri di depan kayu salib
laksana pohon muda nan lembut di depan amukan prahara. Dan begitu mereka
mendekatinnya, mereka akan mendengar suatu ratapan mendalam dan suatu dukacita
yang teramat pedih.
Para kawula muda dan
wanita yang berpacu dengan arus deras peradaban modern akan berhenti sekarang
ini, dan memandang ke belakang melihat Maria Magdalena yang muda mencuci dengan
air matanya noda-noda darah dari Sang Manusia Suci yang sedang tergantung di antara
langit dan bumi, dan ketika mata dangkal mereka
bosan dengan adegan itu, mereka akan berangkat pergi sambil
tertawa-tawa.
Pada hari ini tiap-tiap
tahun, kemanusiaan terjaga bersama kesadaran musim semi, dan berdiri meratap di
bawah lelaki dari Nazaret yang menderita, lalu menutup matanya dan menyerahkan
dirinya kepada kelelapan tidur. Tetapi musim semi akan tetap terjaga,
tersenyum, dan bergerak maju hingga bergabung dengan musim panas, mengenakan
busana keemasan harum mewangi. Kemanusiaan adalah orang berduka yang tenggelam
meratapi kenangan-kenangan, dan para pahlawan segala zaman. Apabila kemanusiaan
memiliki pengertian, ia akan bergembira melebihi kemuliaan mereka. Kemanusiaan itu
laksana seorang bocah berdiri dalam keriangan seekor binatang buas yang
terluka. Kemanusiaan tertawa di depan kekuatan aliran deras yang membawa ke
dalam pelupaan cabang-cabang kering pepohonan, dan menghanyutkan dengan mantap
benda-benda yang tidak diikatnya dengan kuat.
Kemanusiaan itu melihat
Yesus dari Nazaret sebagai seorang yang dilahirkan melarat, menderita sengsara,
dan dihina dengan segala kelemahan-Nya. Tetapi Yesus dikasihi, karena
kemanusiaan percaya bahwa Ia telah menyalibkan penderitaan. Dan smua tawanan kemanusiaan
itu baginya adalah jeritan, tangisan, dan ratapan. Selama berabad-abad
kemanusiaan telah memuja-muja kelemahan pada Pribadi Sang Juruselamat.
TIDAK!
Lelaki dari Nazaret itu tidak lemah. Yesus itu perkasa. Tetapi orang-orang
menolak untuk mengindahkan makna hakiki dari kekuatan-Nya. Sesungguhnya, Yesus
tidak pernah hidup dalam kemiskinan dan ketakutan. Ia tidak pernah mati dalam
penderitaan, tetapi Yesus kaya raya. Dia disalibkan sebagai seorang Pahlawan
perang, dan mati sebagai seorang yang gagah perkasa. Ia wafat dengan suatu heroisme
yang membuat takut para pembunuh dan penyalib-Nya.
Ya,
Yesus bukanlah seekor burung dengan sayap-sayap yang patah. Dia adalah prahara
yang mengamuk dan mematahkan sayap-sayap yang bengkok. Dia tidak pernah gentar dengan para penganiaya
dan musuh-musuh-Nya. Dia tidak menderita di depan para pembunuh-Nya. Yesus
bebas dan berani merancang semua orang kejam dan para penindas bengis. Yesus
melihat bisul-bisul menular dan memotongnya. Dia bungkam semua kejahatan dan
segala pengkhianatan.
Yesus
tidak datang dari jantung lingkaran terang untuk merusak rumah-rumah dan di
atas reruntuhannya mendirikan biara-biara. Yesus tidak membujuk orang kuat
untuk menjadi rahib dan imam, tetapi Ia datang untuk menumbuhkan di jagad raya
ini semangat baru, dengan kekuatan menghancurkan pondasi dari monarki apa saja
yang dibangun di atas tulang-tulang dan tengkorak manusia. Yesus datang untuk merobohkan istana-istana
megah, dan membangun kuburan-kuburan bagi si lemah, menghancurkan
berhala-berhala yang berdiri di atas raga-raga si miskin.
Yesus
tidak diutus ke dunia ini supaya mengajar manusia untuk
mendirikan gereja-gereja megah dan
katedral-katedral yang bagus di tengah gubuk-gubuk pengap dan pondok-pondok
suram orang-orang yang malang. Dia datang untuk membuat hati manusia menjadi
sebuah Bait Allah, dan jiwa manusia menjadi mezbah, dan pikiran manusia menjadi
imam.
Inilah misi kedatangan
Yesus orang Nazaret, dan inilah ajaran-ajaran yang disampaikan kepada kita
untuk apa Yesus telah disalibkan. Dan apabila kemanusiaan tersebut baik adanya,
maka kemanusiaan itu akan tegak berdiri sampai sekarang ini, dan
menyenandungkan dengan lantangnya tembang penaklukan dan kidung pujian
kemenangan.
Selamat
menyongsong hari Jumat Agung. Kiranya makna kematian Kristus membuat kita sadar
akan apa yang Ia kehendaki melalui peristiwa penyaliban yang dialami-Nya, sehingga
selaku umat-Nya, kita dimampukan untuk meneruskan perjuangan-Nya untuk membuat
jagad raya ini menjadi lebih baik. Tuhan memberkati. Amin.